Bab 07

126 6 0
                                    

IAN

Di sela-sela kesibukan saya selalu menyempatkan diri untuk singgah ke toko buku. Saya tidak menuju rak majalah fotografi atau apapun yang berkaitan dengan itu. Sejak bertemu dengan Aruna, hasrat saya untuk membaca tiba-tiba muncul. Saya tidak terlalu suka membaca buku novel yang tebal-tebal. Karena itu saya memilih buku kumpulan cerita uang dituliskan oleh sekumpulan orang. Saya pernah membaca sebuah kutipan, "Membaca adalah cara untuk melihat dunia melalui orang lain." Kadang walaupun saya berada di tengah keriuhan, saya merasa sepi dan sendiri. Seolah-olah ada yang hilang dari hati.

----

Setelah dari toko buku saya bergegas menuju taman, sore itu adalah jadwal Aruna datang. Dari kejauhan saya sudah bisa merasakan aroma parfumnya yang menyegarkan tertiup angin. Saya ingin membaca buku bersamanya.

"Hai, Aruna. Boleh saya duduk di sini?"

Aruna melihat ke arah bangku yang lain. Sepertinya dia tidak ingin diganggu, gerak tubuhnya menyiratkan agar aku tidak mendekatinya. Aku mengurungkan niat untuk duduk di sebelahnya. Dan memilih bangku yang terletak di seberangnya. Ia kembali tenggelam dalam buku yang dibacanya. Saya meletakkan kamera di samping, tepatnya di atas bangku yang aroma peliturnya begitu kuat. Dan membuka halaman pertama buku yang baru saya beli. Tetapi saya bolak balik memandangi dirinya, setelah beberapa halaman, saya mengalihkan tatapan ke arahnya.

"Bisakah kamu tidak memandangi saya seperti itu? Apakah ada yang mau kamu sampaikan?" Aruna mungkin sudah risih dari tatapan saya sejak tadi.

"Maafkan saya bila membuat kamu tidak nyaman. Saya hanya penasaran. Mengapa kamu menghabiskan banyak waktu di tempat sepi ini?"

"Menurutku, tidak ada yang benar-benar sepi dari sebuah tempat. Semua hanya perkara waktu. Orang-orang akan meninggalkan kita pada suatu saat. Entah karena kita tidak berguna atau memang mereka lupa kalau kita ada. Ah, aku berbicara terlalu banyak. " Aruna melepaskan buku bacaannya tapi belum menatap langsung ke arah saya. Matanya memandangi sekitar. Ia tiba-tiba mengalihkan pandangannya kepada saya. Dan melontarkan pertanyaan,

"Dan kamu? Mengapa akhir-akhir ini selalu berada di sini?"

Jujur saya sempat bingung mencari jawaban yang tepat, belum lagi matanya yang dihiasi bulu mata lentik dan lesung pipinya yang malu-malu muncul membuat saya keringat dingin. Apakah saya jatuh cinta? Tidak, tidak, tidak semudah itu.

"Ada pekerjaan untuk memotret dan saya memilih tempat ini sebagai objek. Taman ini punya kisah tersendiri untuk saya pribadi."

"Harus sampai setiap hari kah?" tanya Aruna kembali.

Saya hanya mengangguk.

"Saya rasa besok kamu tidak perlu datang ke taman ini lagi." sambung saya.

"Bukankah ini tempat umum, semua orang berhak datang ke sini." jawabnya sedikit kesal, sorot matanya berubah dan badannya berubah sikap menjadi tegang.

"Bukan begitu maksudnya, apakah kamu tidak tahu? Setiap bulan pada tanggal 30 taman ini dikosongkan demi menghormati pendiri taman yang kehilangan putrinya. Pendiri taman akan datang membawa serangkaian bunga dan menebarkannya ke seluruh taman."

Raut wajahnya berubah seperti menahan kesedihan yang hendak tumpah. Ia berdiri dan hendak melangkah pergi.

"Aku tahu itu dan aku memang tidak pernah hadir setiap tanggal tersebut. Untuk apa aku harus bertemu dengan seseorang yang tidak tahu diri."

"Saya tidak paham apa yang kamu bicarakan."

"Kamu nanti akan mengerti."

Aruna berjalan pergi meninggalkan saya dengan embusan angin menjelang senja, tidak dingin, tidak hangat. Dan saya terlalu bodoh untuk mengerti apa yang dia bicarakan.

Karena Jatuh Cinta adalah Patah Hati Yang TermaafkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang