Karena memiliki masa lalu yang pahit bukan berarti seseorang tidak memiliki masa depan. Selalu ada kesempatan kedua. Bahkan untuk memaafkan.
Aku mendekap tubuh Mama yang dingin. Wajahnya tersenyum, Ayah belum pulang. Ia sedang berada di luar kota. Aku telah mengabarinya, sebuah pesan yang sebetulnya tidak ingin kusampaikan, tapi itu harus. Pesan yang membuatku mengalami patah hati untuk pertama kalinya.
Kehilangan Mama untuk selamanya. Tiada yang lebih tabah dari mengabarkan kehilangan kepada diri sendiri maupun orang lain. Tiada yang lebih tangguh dari menghadapi ketidakberdayaan untuk menahan seseorang untuk tetap tinggal di samping kita selamanya.
***
Tiga malam lalu, sepulang dari membelikan sup untuk Mama dari warung dekat rumah, aku berdiri kaku menatap ke seberang jalan. Ayah pulang diantar seorang perempuan muda dengan pakaian terbuka. Ayah jalan sempoyongan sambil membawa tas kerjanya. Ah, dia pasti mabuk lagi. Dan perempuan itu memiliki wajah yang tidak asing lagi—istri simpanannya.
“Mama, aku pulang.”
Aku baru melangkahkan kaki di ruang tamu. Terdengar keributan dari arah kamar Mama. Ayah sepertinya mencari perkara lagi.
“Kenapa kau takmati saja, sih. Berapa banyak biaya yang harus kukeluarkan untuk mengobatimu. Dan bahkan sekarang tidak ada tanda-tanda kau segera pulih. Dasar wanita tak berguna.”
Pelan-pelan aku mengintip dari celah pintu kamar yang terbuka memandangi Mama terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya pucat. Air mata turun tak terbendung. Mama sesenggukan menahan isak tangisnya.
Aku berbalik ke dapur, mencari sebuah pisau. Dan aku menemukannya di sebuah laci. Dengan langkah yang mengendap-endap, aku memegang pisau itu gemetar. Ayah masih berteriak-teriak kesetanan. Bergegas aku membuka pintu kamar dan menghambur lari ke arah Ayah. Pisau itu kini berada di udara siap menghunjam tubuhnya.
Plak.
Ayah berhasil menangkap tanganku. Matanya merah penuh amarah. Ia melemparkan badanku ke tepi kamar.
“Kau mau menjadi pembunuh, hah? Kau sama ibumu sama saja. Oh, atau aku bisa melaporkan kejadian ini ke polisi. Percobaan pembunuhan.”
Raut wajah Mama seperti ingin mengucapkan sesuatu. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya lumpuh dan ia kehilangan kemampuan untuk berbicara.
Aku berlari mendekap kedua kaki Ayah, “Aku mohon jangan laporkan kejadian ini.”
Ayah berusaha melepaskan dekapanku ini. Aku masih memegangnya erat, tapi dalam satu gerakan ia berhasil pergi. Meninggalkan kami berdua. Dan deru mesin pendingin udara kamar menjadi pemecah keheningan. Anjing tetangga menyalak dari luar rumah.
Setelah kejadian itu, Ayah tidak pernah menampakkan dirinya lagi. Entah ke mana ia pergi.Aku tidak berniat mencarinya sekalipun itu dalam mimpi. Ia telah memberi luka pedih di hati.
***
Setelah bertahun lamanya, kehidupan tanpa Mama aku dan adik laki-lakiku tinggal di sebuah rumah kontrakan pinggiran kota. Aku bekerja sebagai pustakawan. Setiap sore sepulang kerja, aku sering menghabiskan waktu di taman di jantung sebuah real estate megah. Taman itu mengingatkanku kepada Mama. Ia sangat menyukai bebungaan. Walaupun aku memendam benci pada Ayah, kupikir rindu tetap bersemi pada lelaki itu. Entahlah dia masih ingat kami atau tidak.
Dan suatu sore, aku bertemu dengan seorang pria yang sedang memotret di taman. Ia mendekatiku dan mengajakku berkenalan. Aku masih trauma dekat dengan para pria. Kenangan tentang Ayah dan Mama begitu melekat dalam ingatan. Kejadian itu yang sudah membuat luka begitu dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Jatuh Cinta adalah Patah Hati Yang Termaafkan
RomanceKisah tentang bagaimana Aruna, Ian dan Andra menghadapi patah hati yang melanda mereka.