****
Setelah kepergian bang wira tugas, terasa sepi tanpa ada kabar. Aku mendengar kalau tugas kali ini sangat berbahaya. Aku nggak tahu bang wira sebenarnya bertugas dibagian apa karena yang aku tahu bang wira seorang tentara sama seperti ayah dan bang riyan.
Hari dan dan bulan berganti tapi kabar akan bang wira selesai tugas belum terdengar olehku. Aku rasanya hampir putus asa selalu saja fikiran tak fokus sampai suara telphone berbunyi.
"Hallo, apakah benar ini saudara biasa"ucap sesorang dari sana
"Iya saya sendiri, maaf ini siapa ya?"ucapku dengan nada penasaran
"Saya bawahan pak wira prayudha, saudara biana bisa ke rumah sakit bintang buana sekarang"ucap sesorang diseberang sana
"Maaf pak tapi kenapa saya harus kesana"ucapku sedikit khawatir
"saya tidak bisa jelaskan terlalu panjang mbak biana, saya hanya menyampaikan pesan dari pak wira"ucapnya
"Ya sudah pak saya segera kesana" ucapku langsung menutup telphone dan bergegas keluar rumah dengan tergesa-gesa bahkan bunda sempat memanggilku tak kuhiraukan.
Langkah kakiku semakin mendekat kearah dalam rumah sakit. Sebelumnya aku telah tahu kamar ruang rawat yang ditunjukkan kepadaku. Seketika membuka ruang rawat, tubuhku langsung membeku melihat pemandangan dimana bang wira tekulai penuh luka. Tubuhku tak mampu merespon lagi dan seketika air mata terus membanjiri pipiku.
Langkahku tertatih sampai ke tempat tidur bang wira. Aku menangis dan meraung menyebutkan namanya. Tangisku menjadi-jadi dan tak tahan tubuhku langsung merosot ke lantai. Saat tanggisku semakin menjadi terdengar bunyi seseorang yang masuk kedalam ruangan.
Ckrek
Aku mendongak menatap siap yang membuka ruang rawat. Aku menatap wajahnya, sesorang yang berpakaian loreng dan berperawakan tegas berjalan mendekat ke arahku.
Langkahnya pelan namun pasti sambil memasukkan tangannya kedalam saku celana. ketika sampai didekatku sesorang itu memberikan selembar kertas. Aku menatapnya sendu sambil menaikan alis ke atas tanda binggung.
"Ini ambilah mbak, bang wira menitipkan ini kepada saya untuk diberikan kepada mbak biana" ucapnya sambil menyerahkan kertas itu
Aku hanya terdiam sambil memandang kertas yang telah berada dalam gengamanku. Aku membuka kertas yang aku yakini adalah tulisan tangan bang wira untukku, dengan tangan bergetar aku membuka dan membacanya.
To biana
Maafkan abang bi untuk tak menempati janji abang. Maaf karena abang tak bisa berbicara langsung kepadamu. Maaf tak dapat menempati janji untuk pulang dengan membawa senyuman. Tapi abang hanya bisa meminta maaf secara tak langsung. Abang tak tahu bi dapat bertahan atau tidak. Kamu harus tahu bi saat ini abang ke kepung oleh musuh dan abang menulis ini dengan segera, mungkin ketika membaca surat ini abang terkulai dan tak dapat berbicara padamu.
Biana cinta nya abang mungkin abang tak dapat waktu lagi. Jika abang memang berjodoh denganmu maka jalan kita pasti akan mendapatkan kemudahan tapi kalau kita tak dapat berjodoh sekarang abang mohon bi jangan pernah menyesal dan menangis karena abang. Abang hanya ingin kamu tersenyum dengan bahagia. Kalau abang selamat pasti kita akan menikah dan kalau abang dipanggil yang maha kuasa tolong ikhlaskan abang.
Satu hal yang abang mau bi kalau abang selalu mencintaimu dan ketika ada orang yang ingin melamarmu nanti tolong bi terima saja karena abang nggak tahu nasib abang seperti apa. Satu harapan abang selalu berdoa dan jangan lupa ingat bahwa Allah selalu baik dengan hambanya.
Dari wira prayudha
Aku hanya bisa menangis dan terus menanggis. Air mataku terus mengalir dan menambah sesak nafasku. Aku terus menatap bang wira yang tidur dengan mata sembab dan sesenggukan. Ketika aku masih menangis, ada pergerakan dari tangan bang wira. Perlahan namun pasti tangan bang wira bergerak dan kelopak matanya mulai terbuka.
Ketika terbuka senyum indah terukir di bibirnya. Gerakan tangannya membuka masker dan memberiku isyarat untuk mendekat. Dia mulai berbicara sambil terbata.
"Bi aku ingin kamu bahagia dan jangan menangis. Abang nggak kuat lagi bi. Assyaduilla haillaallah wa assyaduanna muhammadar rasulullah" ucapnya dan nafasnya berhenti
Seketika pandanganku kosong. Dokter masuk dan memeriksa keadaan bang wira. Memeriksa arloji dan berkata
"Maafkan kami bu, pukul 21.45 pak wira sudah berpulang"ucap dokter yang seketika membuat tubuhku ringan seperti kapas.
Aku hanya bisa mendengar berikan orang-orang yang memanggilku. Aku menyengir merasakan bau menyengat. Pandanganku langsung jatuh pada tembok bercat putih dengan bau khas obat-obatan. Aku mengedarkan pandangan, seketika aku menangkap perempuan paruh baya yang aku yakini yaitu mama bang wira.
Beliau langsung mendekat dan memelukku. Seketika tanggisku pecah meratapi nasib perjalanan cintaku dan bang wira. Aku menangis menumpahkan segala kepedihan kesakitan akibat bang wira.
Mama bang wira sama sepertiku menangis menumpahkan segala kepedihannya. Kami menangis hingga disela-sela tanggis mama Memberitahuku untuk bangkit dan tersenyum seperti ucapan wasiat dalam tulisan terakhir bang wira.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Biana
ChickLitPerjodohan membuatku tertekan apalagi dijodohkan tanpa tahu seperti apa orangnya. Nasib jadi perempuan tunggal di keluarga. Sikap keluarga yang overprotektif menjadikan perjodohan jalan yang baik. Semoga saja lelaki yang dijodohkanku lelaki yang bai...