3: Atensi

58 15 7
                                    

Atensi: perhatian

-.-.-.-

2015

Langit masih gelap karena matahari terlalu malu untuk memperlihatkan eksistensinya pagi ini. Jam masih menunjukkan pukul lima pagi. Sherena sudah sampai di lobby rumah sakit untuk melakukan absensi di meja informasi karyawan, dekat dengan pintu masuk.

Rania D. Sanjaya: Na.
Sherena Fidellina: Wasap,
Rania D Sanjaya: Wasap wasap. Dimana?
Sherena Fidellina: Lobby.
Rania D. Sanjaya: Yah udah di RS? Padahal aku mau minta jemput. Yaudah nanti bareng Alan aja.
Sherena Fidellina: K
Rania D. Sanjaya: Cuek amat. Bebek aja kalah.

Sherena tersenyum lebar membaca pesan terakhir Rania. Rania dan Alan adalah sahabatnya sejak bekerja di Rumah Sakit Permata Husada. Tidak berniat membalasnya, Sherena memasukkan ponselnya kedalam tas. 

"Selamat pagi, dokter."  sapa banyak orang kepada Sherena. Ya, sebenarnya Sherena lebih suka dipanggil dokter ketimbang profesor. Toh dirinya mengabdikan dirinya sebagai dokter bukan?

"Pagi."

"Yaa, pagi."

"Pagi, selamat bekerja."

"Hayy, pagii."

Sekiranya seperti itu jawaban Sherena pada beberapa karyawan yang menyapanya, karyawan shift malam tentu saja. Pergantian shift pada pagi hari adalah jam enam dan Sherena memiliki kebiasaan untuk datang lebih awal.

Tidak, Sherena bukan seorang penggila kerja mengingat kemarin dia sudah seharian berada di rumah sakit. Dia hanya tidak ingin berlama-lama berada di rumah.

Alasannya sepele, karena dia benci sendiri. Ketika dia pulang ke rumah, dia akan menjadi sosok pemurung. Bukan keluarga yang menyambutnya, namun perkakas rumah tangga. Kemudian saat itu, perasaan kosong akan menyerangnya secara mengerikan.

"Dokter?"

"Dok?"

"Did you hear me?"  sentak seorang pria persis di depan wajah Sherena membuat gadis itu terlonjak ke belakang.

Beruntung, tangan pria itu cekatan menarik lengan Sherena untuk tetap berdiri dan tidak terjerembab ke lantai.

"Ahh, kamu mengagetkanku."  ucap Sherena disertai helaan napasnya.

Mendengar Sherena yang menggunakan panggilan kamu - aku dalam percakapan mereka membuat pria itu tergelak.

"Kenapa tertawa?"  tanya Sherena kesal masih tidak sadar juga.

"Dokter ini lucu ya."  ungkap suara berat itu.

"Apa maksud-"  ucapan Sherena berhenti digantikan dengan desisan dan ringisan giginya karena menyadari bahwa lawan bicaranya adalah seseorang yang baru dikenalnya semalam.

Ya, pria itu adalah Revo Darius.

"Tidak apa - apa."  ucap Revo seakan tau apa yang ada dipikiran Sherena.

"Bukan begitu, maksud saya-"  ucapan Sherena terpotong oleh suara Revo.

"Aku senang jika dokter menganggap kita dekat sampai menggunakan bahasa aku-kamu, tidak masalah. Bukankah tidak ada hukum yang melarang orang yang baru bertemu semalam saja tidak boleh dekat?"  tanya Revo.

"Ah ya, i-itu, ah a-anu." Sherena mencoba berbicara lagi namun dia tergagap.

"Kupikir awalnya dokter adalah orang yang kaku. Tetapi ternyata dokter orang yang menyenangkan."  ucapan Revo lebih terdengar seperti sindiran di telinga Sherena. Yah, memang tidak sedikit orang yang menganggapnya menyebalkan saat awal berjumpa.

Ditatapnya wajah Revo dengan tatapan yang tidak terbaca.

"Kamu sungguh menyebalkan."  ucap Sherena pada akhirnya kemudian berjalan meninggalkan pria itu.

"Imut sekali."  lirih Revo dengan senyum dan juga tawa yang tak lepas dari bibir dan mulutnya.

"Dokter."  panggil Revo.

"Apa?!"  Sherena menjawab panggilan Revo dengan ketus.

"Wajahmu seperti seseorang yang kepergok tengah jatuh cinta."  ucap Revo menggoda.

"Dasar bocah."  teriak Sherena membuat Revo mau tidak mau mengejar dokter itu lalu mensejajarkan langkahnya.

"Bocah? Berapa umur dokter? Apa sudah setua itu? Kupikir kamu masih berusia dua puluh lima tahun."  tanya Revo ingin tahu.

"Apakah obrolan ini pantas untuk dua orang yang baru kenal dalam hitungan jam?"  tanya Sherena dengan memutar bola matanya.

"Pantas - pantas saja, untuk dua orang berkepribadian terbuka seperti kita."  Revo menjawab dengan lancar sembari mengedipkan matanya.

"Umurku dua puluh sembilan tahun. Puas?"

"Wow. Untuk seukuran dokter bergelar profesor kamu masih sangat muda."  puji Revo.

"Bocah sialan."  umpat Sherena dengan mengibaskan tangannya.

"Kenapa kamu terus saja menyebutku bocah?"  tanya Revo.

"Perawat bilang anak dari Ibu Yona berumur dua puluh dua tahun."  jelas Sherena.

"Umurku tiga puluh tahun asal kamu tau."  ucapan Revo tentu saja membuat Sherena menghentikan langkahnya.

"Yang dokter sebut berumur dua puluh dua tahun adalah adikku, Raffi. Kupikir sejak semalam kamu sudah tau aku, mengingat aku cukup terkenal."

Sherena mati kutu dan sangat malu, wajahnya sudah berwarna kemerahan. Dia berpikir untuk berlari kearah lift yang berjarak lima langkah dari tempatnya berhenti.

Belum sempat Sherena melancarkan aksinya, suara Revo menginterupsi indera pendengarannya.

"Ya sudah lupakan. Apa dokter tau rumah makan dekat sini yang sudah buka? Aku lapar dan ingin sarapan. Kata petugas, kantin dibuka pukul tujuh."  suara memelas Revo membuat Sherena menatapnya dengan alis bertaut.

Bukannya jawaban yang didapati Revo, melainkan sebuah kotak makanan yang baru saja dikeluarkan Sherena dari dalam tasnya.

"Itu bekalku. Kuberikan padamu sebagai permintaan maaf."  ucap Sherena lalu kembali berjalan ke arah lift.

Mendapatkan bekal dari Sherena, membuat Revo senang bukan main.

"Apakah ini artinya kita sudah bisa lebih dekat?"  tanya Revo terdengar ambigu saat mereka sudah berhadapan dengan posisi Sherena yang sudah berada di dalam lift.

Belum sempat Sherena menjawab, pintu lift tertutup meninggalkan Revo yang masih mematung disertai senyum di wajahnya dan juga Sherena yang tengah merasa kupu - kupu bertebaran di perutnya.

Revo masih memandangi kotak bekal yang diberikan oleh Sherena tadi dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.

---

Sekian dulu ya,
Jangan lupa vote!
Berikan komentar kalian juga

Yang habis nyuci baju,
GWENN

RegresiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang