6: A New Book

12 5 0
                                    

2015

Siang ini Revo makan bersama Sherena, Rania, dan Alan di Kantin Rumah Sakit. Sebenarnya tempat ini jauh lebih besar dari sekadar 'kantin'. Tapi tiga serangkai lebih suka menyebutnya kantin ketimbang food court. Kata mereka, biar lokal aja.

Revo memang selalu tinggal di Rumah Sakit menemani ibunya. Dia pulang hanya untuk mengambil baju dan sesekali keluar jika ada urusan mendadak. Pekerjaan sehari-hari murni dia lakukan wfh, work from hospital, haha.

"Jadi, Revo. Melanjutkan bahasan kemarin tentang investasi rumah, sepertinya aku tertarik." Alan membuka bahasan ditengah santap siang mereka.

Baru beberapa hari Alan dan Revo berkenalan, namun sudah menjadi dekat. Mungkin, karena sesama laki-laki, juga kepribadian mereka yang sangat terbuka. Revo tipe orang yang pandai membuat orang lain nyaman dan Alan adalah master dalam membuka obrolan menarik. Sudah, cocok.

"Hmm, kalau begitu aku bisa jelaskan kontraknya nanti setelah ibuku keluar dari rumah sakit. Kita juga bisa langsung turun ke lokasi dan bertemu Kaelo. Dia pasti punya banyak pilihan untukmu. " jelas Revo.

"Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan ibumu?" tanya Rania.

"Sudah lebih baik. Dokter yang merawatnya hebat sekali." goda Revo dan melirik Sherena.

"Mungkin akan pulang dalam waktu dekat," lanjutnya lagi.

"Ya. Seperti yang aku bilang tempo hari. Kalau kondisinya membaik, minggu ini sudah boleh pulang. Mungkin lusa, nanti kami tengok lagi kondisi beliau." Sherena menjawab serius dan mengabaikan godaan Revo.

"Dia benar-benar sulit untuk digoda, Revo. Ayo berusaha lebih keras. Sherena sedikit berbeda dengan perempuan diluar sana." Alan meledek.

"Aku hampir mati ide untuk menggodanya. Mungkin aku harus ambil kelas khusus dan kamu sebagai pengajarnya." timpal Revo.

"Alan sama sekali tidak bisa menggoda Sherena, Rev. Bahkan seorang Azka, cassanova paling menawan diangkatanku saja tidak bisa membuatnya luluh. Hanya kamu yang bisa Rev, percayalah." Rania berujar dengan mengedipkan sebelah matanya.

Revo, Alan, dan Rania menatap Sherena yang tengah tersipu. Pipinya kini merah merona. Namun gadis itu tetap sibuk menatap nampan makanan dan mengunyah makan siangnya.

"Lihatlah ada anak gadis sedang kasmaran." Alan semakin menggoda Sherena.

"Uhuk, bisa kasmaran juga rupanya." Rania menambahi.

Sherena kemudian mengangkat kepalanya dan memelototi Alan dan Rania yang tengah cekikikan.

"Sepertinya, aku laki-laki pertama di hidup Sherena?" Revo bertanya penuh selidik menatap ketiganya.

"Ya ampun Revo! Sherena belum cerita padamu?" Rania kaget dengan pertanyaan Revo barusan.

"Demi pantat bayi-bayi lucu yang tiap hari kutemui, bisa-bisanya hal sepenting itu tidak Sherena beritahukan padamu?" serbu Alan.

"Rania! Alan!" tegur Sherena.

"Memangnya ada hal menarik apa yang perlu aku tau?" Revo balik bertanya dan menatap jail ke arah Sherena.

"Tidak pernah berpacaran. Tidak pernah mabuk. Tidak pernah merokok. Tidak pernah memakai pakaian seksi. Tidak pernah main ke club. Tidak pernah making out ataupun sex. Sherena adalah orang paling kolot yang pernah aku temui." Alan berseru.

"Juga tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun." imbuh Rania.

"Alan adalah pengecualian," lanjutnya.

"RANIA! ALAN!" kali ini Sherena menegur setengah berteriak.

"Wah, benarkah?" takjub Revo, memandangi Sherena.

"Kalau begitu aku beruntung mendapatkan hatinya." Revo mengedipkan matanya kepada Sherena yang dihadiahi cubitan dilengannya.

"Aww, sakit Na." rengek Revo.

"Siapa yang bilang kamu dapet hatiku? Nggak tuh." cibir Sherena.

"Yailah couple gemas sedang berbucin ria didepan saya. Jadi iri deh." Alan meledek dan diikuti tawanya bersama Rania.

Kemudian dering ponsel menginterupsi keempatnya. Itu ponsel Revo. Revo mengeluarkan ponsel hitamnya dari saku celana. Ada telfon masuk dengan nama 'David Djojowinata' terpampang di layarnya.

"Sebentar ya," Revo permisi untuk pergi dari meja makan dan mengangkat telfonnya.

Kemudian aksi menggoda berlanjut di meja tersebut. Alan dan Rania makin gencar menggoda Sherena.

"Kayanya bakal happy ending nih." ucap Alan kemudian bersiul.

"Pokoknya gamau tau nanti kamu harus beliin aku gaun paling bagus buat dateng ke pernikahan kalian." Rania menambahi.

"Apaan si, kok jadi nikah?" Sherena kesal.

"Kamu sendiri yang bilang kemarin kan, kamu butuh teman untuk menua. Dan aku sepakat kalau Revo adalah jawabannya." Rania mengucapkan kalimat tersebut sembari tersenyum tulus. Rania ingin sekali sahabatnya yang satu ini bahagia.

"Benar kan Alan? Kamu sepakat?"

"Yap," Alan ikut tersenyum.

"Kali ini aku mengesampingkan sifat realistis yang aku miliki, demi kamu. Kalian memang baru saja kenal, tapi nggak ada salahnya untuk lebih saling terbuka dan mengenal. Aku sepakat saat kamu mengatakan Revo orang yang baik dan mudah membuat orang nyaman. Percayalah Na, aku ngga pernah seserius ini mendukung kamu membuka hati untuk laki-laki. Revo deserves this. Oh no, i mean, you deserves him. Kamu orang baik dan Revo juga begitu. Tuhan itu adil, mempertemukan dua orang baik untuk menjadi satu ikatan." Rania menasehati.

'Mungkin, sudah saatnya aku menutup buku cerita yang membuat hati sesak. Mungkin, sudah saatnya aku membuka buku baru dan menulis cerita penuh suka di halaman pertamanya. Semoga setelah ini, takdir tidak lagi bercanda seenaknya.' batin Sherena.

-.-.-

Terima kasih sudah membaca!
Jangan lupa tinggalkan jejaknya,


Yang lagi galau karena malam ini hujan,
Gwenn

RegresiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang