Eleven

29 5 7
                                    

Karui berjalan keluar paviliun, dia menoleh dan berhenti melihat Kirara duduk melamun di tepi kolam. Karui menghela napas, dia berjalan pelan mendekati Kirara. Karui heran, sebenarnya apa yang dipikirkan Kirara? Dia sering melamun sekarang, konsentrasinya juga berkurang. Terkadang dia terlalu banyak menyiramkan air di tanaman, kadang dia malah menyirami kolam. Karui mengulurkan tangan, dia akan menepuk bahu Kirara saat gadis itu menghela napas dan berucap pelan, “Kalau saja aku seorang putri raja atau anak bangsawan, aku pasti bisa menikah denganmu.”

Eh?

Karui berhenti, dia mengerutkan dahi. Kenapa Kirara mengucapkan hal itu? Apa dia sedang menyukai seorang dari kalangan istana? “Kau seorang pangeran, aku hanya pelayan. Bahkan meskipun aku memotong lidahku, Dewa tidak akan menyatukan kita.”

Karui terkejut mendengar ucapan Kirara. “Kawazoe-San,” panggil Karui. Kirara menoleh, dia langsung berdiri dan membungkuk kepada Karui. “Apa kau jatuh cinta dengan salah satu pangeran disini?” tanya Karui tegas. Karui bisa melihat ekspresi kaget Kirara, dia tampak kebingungan dan gugup. “Tuan Putri… saya… saya tidak pernah berani untuk melakukan hal seperti itu,” suara Kirara terdengar gemetar, “saya hanya seorang pelayan, tidak pernah terlintas di pikiran saya mencintai seorang pangeran.”

Karui terdiam, dia tahu Kirara berbohong. “Maafkan aku, aku tidak ingin menurunkan semangatmu atau apapun,” ucap Karui, “tapi mencintai seorang anggota keluarga kerajaan adalah hal yang sangat dihindari para pelayan. Kalau kau nekat, kau akan mendapatkan kesulitan.”

Kirara membungkuk kecil. Karui menghela napas, terbersit rasa bersalah di hatinya mengucapkan hal semacam itu. Bagaimanapun, Kirara adalah manusia, dia berhak untuk mencintai orang lain. “Sekarang bisakah kau keluar istana? Aku ingin sekali makan kue beras. Aku tahu penjual kue beras yang enak di pasar, tolong belikan untukku,” Karui menyerahkan sekantung uang kepada Kirara. Kirara menerimanya, dia membungkuk dan melangkah meninggalkan Karui.

Sepeninggal Kirara, Karui menghela napas dan menunduk. ‘Dewa, ampuni aku,’ batin Karui, ‘hari ini aku berbuat jahat dengan menghancurkan kebahagiaan seseorang.’ Karui duduk di tepi kolam, dia benar-benar merasa bersalah. Kirara pasti sangat sedih sekarang. Karui terdiam, dia jadi penasaran, siapa pangeran yang dicintai Kirara?

Ah!

Karui terkejut, dia menoleh kearah jalan keluar istana. Mungkinkah Kirara jatuh cinta kepada Kaito?

*

Hagiya berjalan keluar ruangan, dia menuruni tangga dan melangkah menuju perpustakaan. Ada banyak dokumen kerajaan yang harus diperiksa, dan itu sangat menyita waktunya. Hagiya berhenti, dia melihat Miyuki berdiri di depan pintu perpustakaan. Hagiya mendekat, dia menyapa pelan, “Nona.”

Miyuki menoleh, dia segera mendekat dan berkata, “Hagiya-San, kumohon maafkan aku. Aku sama sekali tidak bermaksud melupakan janjiku. Kumohon maafkan aku.” Miyuki membungkuk dalam, Hagiya bingung melihat sikap Miyuki. “Nona, kau baik-baik saja?” tanya Hagiya, “kenapa kau tiba-tiba minta maaf kepadaku? Kau tidak melakukan apa-apa.”

Miyuki bangkit, dia menjawab, “Aku sudah membuatmu menunggu terlalu lama. Bukankah waktu itu kita berjanji bertemu lagi di tepi sungai itu? Aku…” Miyuki menunduk, “aku menemani Pangeran Hirano, sampai-sampai aku melupakan janjiku. Kumohon maafkan aku.”

Hagiya tersenyum, dia menjawab, “Sebenarnya, aku juga ingin minta maaf. Hari itu, aku juga lupa sudah membuat janji denganmu. Ada beberapa dokumen yang harus diperbaiki, dan aku baru ingat janjiku saat hari sudah malam. Kukira kau pasti lama menungguku, jadi aku berencana akan minta maaf kepadamu.”

Miyuki menatap Hagiya, dia tampak terkejut dengan ucapan Hagiya. Tak lama, keduanya tertawa. “Astaga, kukira Hagiya-San menungguku disana,” ucap Miyuki, “aku takut sekali.” “Aku juga takut kau marah, kukira kau menungguku disana,” balas Hagiya. Mereka tertawa, mentertawakan kekonyolan yang mereka lakukan. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita membuat janji lagi?” tanya Miyuki. Hagiya tersenyum, dia berucap, “Maafkan aku, Nona. Aku bukan tidak ingin membuat janji, tapi aku takut melupakan janjiku lagi,” ucap Hagiya, “bagaimana kalau nanti aku melupakannya, sedangkan kau mengingatnya? Kau akan kecewa nanti.”

The PalaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang