Berulang-ulang Putri Tenggara mengingatkannya jangan sampai terjebak di dunia manusia. Mudah diucapkan jika saja Edma tidak bergaul dengan manusia seperti Brevan. Perempuan itu memiliki kelebihan yang tidak pernah Edma temui pada perempuan lainnya. Berani mengambil risiko meski nyawa taruhannya.
Tadi pagi, Brevan mengajarinya memanah lagi. Hanya sebentar. Lantas, kembali lagi ke desa saat mendapatkan firasat buruk. Edma tidak yakin perempuan itu mendapat firasat buruk, mengingat setelah pergi tadi tidak ada tanda-tanda masalah. Namun Edma menyesali pemikirannya begitu melihat suasana desa. Anak-anak perempuan berusia lima tahun tak berhenti menangis, kepala pemuda-pemudi menunduk dan orang tua saling menggengam tangan seolah memberikan kekuatan. Edma mengikuti Brevan saat mencoba membaur bersama kerumunan ibu-ibu.
"Aku tidak akan bertanya sekali lagi, Pak Tua!" ketus seorang panglima sambil menatap Ayah Brevan lekat.
Edma yang melihat kejadian itu ingin sekali mengeluarkan kekuatannya. Tapi sebelum sempat terjadi, Brevan menyeruak dari kerumunan dan mendorong tubuh panglima hingga orang itu tersungkur. Dua prajurit lain otomatis membantu pemimpinnya berdiri. Beberapa memegang tangan Brevan, menahannya. Dan sisanya membidikan panah dan pedang tepat di wajah perempuan itu.
Panglima itu tersenyum mengejek. Berjalan mendekat ke arah Brevan hingga menyisakan satu inci sebagai ruang kosong. "Coba lihat perempuan kecil ini," katanya. "Mencoba menyelamatkan orang tua."
"Ia tidak salah apa pun padamu!" pekik Brevan.
"Tentu saja Pak Tua ini salah. Sangat salah. Seandainya ia bisa menghitung dengan benar, kami tak akan kekurangan pedang saat berperang," ujar panglima itu galak.
"Prajurit yang baik pasti bisa menggunakan pedang atau senjata apa pun yang ada dengan bijak tanpa perlu menyalahkan pembuatnya," sahut Brevan singkat, seakan panglima sudah pasti tahu siapa yang salah.
Suara kasak-kusuk para penduduk saling bersahutan. Jelas mereka setuju dengan perkataan Brevan. Untuk apa menyalahkan pembuat pedang jika ada senjata lain sebagai alternatif. Bukankah prajurit perang sudah dididik untuk menggunakan semua jenis senjata untuk perlindungan diri? Namun yang ada kini, seolah keteledoran satu orang menjadi masalah yang perlu dibesar-besarkan. Apalagi membawa rombongan ajudan.
Edma merekam kejadian di depan matanya dengan cepat. Panglima itu berwajah keras, ada luka bakar memanjang di kiri pipi. Mulutnya yang runcing mengeluarkan kata-kata keji di wajah Brevan. Rambut hitamnya dipangkas membentuk ular di kepala. Matanya hitam pekat seakan melihat musuh. Tangannya perlahan bergerak ke pinggang, mengeluarkan pedang panjang yang terpantul cahaya matahari.
Senyum Brevan sama sekali tak pudar. "Hanya laki-laki pecundang yang melawan orang tua renta dan perempuan tanpa senjata. Mungkin gelar panglima akan dicabut setelah kejadian ini. Putri Deta akan sadar bahwa ia memilih pemimpin perang yang salah."
Wajah panglima semakin menggelap. Dengan isyarat tangan, ia menyuruh anak buahnya melepaskan Brevan. Begitu dilepaskan, Brevan meregangkan kedua tangannya. Keduanya kini saling bertatapan.
"Ia hanya seorang anak yang mencoba menyelamatkan orangtuanya," kata salah seorang pemuda yang mencoba meredakan pertikaian yang akan segera terjadi.
"Oh jadi begitu," kata panglima bergerak menjauh, lantas bergerak cepat ke Ayah Brevan sambil menusukkan pedang ke perutnya.
Suara perempuan menjerit histeris, anak-anak meraung ketakutan dan lelaki berdeham gusar. Namun tidak ada yang berani berlari menghampiri karena tahu risikonya. Brevan memekik. Teriakan memilukan yang pertama kali Edma dengar dari perempuan tangguh itu. Brevan langsung berlari ke arah ayahnya yang spontan jatuh. Panglima itu tampak tidak merasa bersalah saat berlalu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertarungan Terakhir Pangeran
FantasyAmbil kristal ini, atau relakan nyawa Brevan. Atas perintah Bawanapraba untuk menemukan serpihan kristal. Edma menyamar menjadi rakyat jelata. Membaur di desa dan menginap di rumah Brevan. Serangkaian rencana yang Edma susun berujung pada masuk diam...