Tengah malam, saat seluruh penduduk masih tertidur lelap, Edma berjalan tertatih ke rumah Tella. Tentu saja ia sudah memprediksi akan disambut raut kantuk dan sorot terganggu. Tella hendak melontarkan kalimat peringatan ketika menyadari Edma mengendong Brevan dalam pelukannya. Perempuan tua itu hanya berdiri kehilangan kata-kata.
Bibir Brevan berubah kering, matanya terpejam dan tak akan pernah terbuka, tubuhnya mulai terlihat kaku dan menguarkan bau tak sedap. Tapi Edma tidak keberatan jika itu bisa membuatnya ingat tentang hari menakjubkan bersama Brevan.
Edma menerobos masuk rumah dan meletakkan jasad Brevan ke bale. Lantas ia menoleh ke Tella yang masih kebingungan. "Tolong, makamkan Brevan di dekat Ayahnya. Makamkan mereka dengan layak. Gunakan saja seluruh uang yang mereka punya. Kalau perlu jual rumahnya. Berikan dua pahlawan itu bunga-bunga yang indah. Jika masih kurang, aku akan membayarnya nanti. Setelah aku selesai dengan urusanku. Aku percaya padamu."
Ketika Edma beranjak pergi lewat pintu yang belum tertutup, Tella menahannya. "Apa yang terjadinya padanya? Apa yang harus kukatakan pada penduduk?"
"Brevan meninggal untuk hal yang besar," sahut Edma pahit.
"Aku tak mengerti. Kau harus ikut ke proses pemakamannya," kata Tella lembut.
Ia menggeleng kuat. "Aku tidak datang untuk merayakan perpisahan dengannya. Tugasku mengantarkan tubuhnya saja. Kau lebih bijak dariku, tentu lebih paham caranya. Sampaikan rasa terima kasih pada penduduk desa ini yang mau menerimaku."
Ia beranjak ke rumah Brevan tanpa menoleh ke setiap sudut ruangan. Setelah mengambil jubah, ia membanting pintunya. Edma bergegas pergi tanpa menengok ke belakang. Rasa kebencian dan kemarahan pada diri sendiri yang dipendam kini harus diakhiri. Ia akan menyelesaikan apa yang sudah dimulai.
Bersumpahlah demi hidupmu.
Ia sudah berjanji pada Brevan. Dan janji itu menunggu untuk direalisasikan.
Dadanya berdebar marah dan membuat kakinya memiliki alasan untuk bekerja. Berlari lebih cepat. Ia harus menemukan Putri Deta. Darah dibalas darah. Api dilawan dengan api.
Saat menyelinap ke istana, perempuan itu belum juga kembali. Jika firasatnya benar, berarti Putri Deta sedang berada di lautan timur. Pusat untuk menghancurkan dua kerajaan saingannya. Agar lebih cepat sampai, Edma mengambil jalur alternatif. Melewati ladang gandum, kemudian kebun tomat, tempat perjualan pedang dan akhirnya sampai di daratan sekitar lautan timur.
Putri Deta ada di sana sambil menyuruh prajuritnya berpencar. Sebagian ada berjaga di jalur utama. Dari jarak pandanganya, Edma bisa melihat kristal di tangan perempuan jahat itu. Bawanapraba tidak bohong, Putri Deta jadi lebih kebal terhadap senjata. Edma mendadak mual melihatnya. Bagaimana ia bisa membunuh perempuan itu jika ia kebal terhadap senjata?
Ketika angin menerpa wajahnya, Edma tersadar. Ia menggunakan kekuatan untuk menyingkirkan prajurit yang menghalangi jalannya ke Putri Deta. Begitu sebagian prajurit tersingkirkan, Edma membangun tembok melingkar yang memenjarakan dirinya dan Putri Deta. Perempuan itu hanya tersenyum angkuh.
"Satu lawan satu, ya? Tidak masalah," kata Putri Deta menunggu Edma selesai membangun arena pertarungan.
Putri Deta semakin awet muda, fleksibel dan kuat dengan menggunakan kristal itu. Edma sadar bahwa mungkin inilah pertarungan terakhirnya.
"Apa yang salah dengan menjadi baik? Kau dulu putri yang baik, kan?" tanya Edma setelah usai.
Putri Deta tersenyum menghina. "Menjadi baik tidak akan pernah menjadi apa pun. Apa yang kudapat setelah berbulan-bulan merawat Ayahku? Tidak ada. Begitu ia meninggal, tertulis di surat wasiat kalau Putri Aurora yang meneruskan kerajaan. Mendapatkan kekayaan. Bahkan jika kenyataannya, ia tidak pernah merawat Ayah sekalipun!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertarungan Terakhir Pangeran
FantasiaAmbil kristal ini, atau relakan nyawa Brevan. Atas perintah Bawanapraba untuk menemukan serpihan kristal. Edma menyamar menjadi rakyat jelata. Membaur di desa dan menginap di rumah Brevan. Serangkaian rencana yang Edma susun berujung pada masuk diam...