Edma mengembuskan napas lega. Putri Deta tidak mencoba mengejar Brevan. Tapi apa maksudnya tadi? Edma mengambil jalur timur agar lebih cepat sampai dan menikung arah datang Putri Deta. Dalam hati, mengerutu sendiri. Apa pun yang terlintas dipikirannya hanya Brevan. Andai perempuan itu duduk manis di rumah pasti ia tidak akan sekhawatir ini.
Ibunya tidak mungkin kalah oleh Putri Deta. Binatang pasti akan datang membantu dan menyelamatkannya. Lagi pula Ibu lebih cerdik untuk bersembunyi. Terbukti puluhan tahun bersembunyi dari Paman dan rakyat tanpa ketahuan. Edma tidak akan meragukan kehebatan ibunya. Jadi ia mencoba mencari dalam ingatannya siapa yang ia kasihi selain ibu dan Brevan.
Putri Deta berhenti di laut selatan. Satu-satunya laut yang berdekatan dengan sungai dan danau kotor. Edma tak mengerti apa keinginan perempuan tersebut. Tapi ia harus tetap mengawasinya.
"Aku tak mengerti kenapa kau tidak ingin Ayahmu hidup kembali," kata Putri Deta parau.
Tidak ada siapa pun di sana selain mereka berdua. Jadi jelas Putri Deta mengajaknya berbicara.
Raut Edma melunak. "Aku sudah berdamai dengan kenyataan."
Gaun Putri Deta berkibar terembus angin. Kepalanya menoleh. "Tidak semua hal bisa diterima begitu saja."
"Apa yang membuatmu membenciku?" tanyanya.
"Aku tidak membencimu. Aku membenci orang-orang yang mencoba menghalangi jalan kejayaanku," sahutnya polos.
Tubuh Edma tertimpa sinar matahari jingga keunguan yang mulai terbenam. "Aku akan memberikan kelapa ini padamu. Tapi, kembalikan kristalnya."
Putri Deta tertawa mencemooh. "Kekuatan kristal lebih luas dibanding kelapa. Lagipula, jika kau tidak ingin mati, kenapa repot-repot mengikutiku?"
"Karena kau membahayakan orang disekitarku," jawab Edma lantang.
Keduanya bergerak memutar. Saling menatap dan menilai. Edma merasakan tumbuhan disekitanya menggores bagian bawah tubuhnya. Ia menggertakkan gigi dan berhenti dua meter dari tempat Putri Deta berdiri.
"Kenapa kau ingin sekali memakai kristal? Itu bukan hakmu."
Putri Deta menguap. "Aku ngantuk mendengar ocehanmu. Dengar ya, kristal ini milikku. Jika ada yang mencoba menghalangi, itu artinya berurusan denganku. Dan kuperingatkan padamu, lebih baik kau mengurus sendiri hidupmu. Minta maaflah pada orang yang sudah kau kecewakan dibanding menghalangiku."
Edma terbelalak. "Apa maksudmu?"
"Kristal ini membuka banyak rahasia. Salah satunya rahasiamu. Aku tahu apa saja yang sudah kau lakukan. Ketakutan, kebencianmu dan kesalahan terbesarmu," ucap Putri Deta.
"Kau tidak tahu apa-apa!"
Putri Deta tertawa pongah. "Kau yang bertanggung jawab atas kematian Ayah Baruna dan Dhanu," katanya tajam.
"Itu kecelakaan!" pekik Edma.
"Tentu saja itu kecelakaan. Jika saja kau tidak tahu ada Ayah dua saudara itu di sana. Tapi kau melihatnya. Lelaki itu berjuang sendiri. Dan kau yang muda begitu bodoh dan naif, mencoba menyelamatkan Ayahmu dan mengorbankan Ayah orang lain."
"Aku mencoba menyelamatkannya juga!" teriak Edma murka. Ia tak suka membahas masalah tersebut.
"Betul. Kau mencoba menyelamatkannya, tapi kau membuat Ayah mereka tenggelam."
"Tsunami yang terjadi karena tabrakan lempeng. Kemampuan itu bukan ranahku," ucap Edma.
Putri Deta mendengus. "Masih berusaha membela diri? Gelombang air yang terempas ke arah Ayah mereka itu karena kemampuanmu. Kau yang masih muda tidak bisa mengontrol kekuatan sendiri. Kau pasti tahu kalau angin bisa mengarahkan gelombang air, kan? Itu yang mengempaskan Ayah mereka ke air lebih dalam, kau bahkan tidak mampu menyelamatkan Ayahmu sendiri. Akibatnya bukan hanya itu, kau bahkan mengabiskan nyawa orang lain. Termasuk Ibu Brevan. Ironis sekali. Kau hanya bisa menghancurkan kehidupan orang disekitarmu, Pangeran dari Timur Laut."
Edma merunduk sakit hati. Ucapan Putri Deta adalah kenyataan yang selama ini ia tolak. Ia pikir berhasil berdamai dengan masa lalu, tapi tidak. Edma tidak akan bisa lepas dari yang sudah dilakukannya. Amarahnya memuncak dan tertahan ketika Putri Deta membuka suara.
"Apa kalian mendengar seluruhnya?" tanya Putri Deta licik.
Edma mendongak dan melihat Putri Deta masih berdiri di tempatnya tadi sambil memerhatikan. Matanya tertuju pada dua sosok di belakang tubuh Edma yang sudah mendengarkan dari awal. Kakinya mendadak lemas saat berbalik dan menemukan raut terluka pada dua orang yang dikenalnya. Emosinya bahkan sudah terkuras meski belum berkata.
"Apa itu benar?" tanya Baruna singkat. Matanya berair.
Edma menyahut, "Aku minta maaf. Itu bukan seperti yang kau pikirkan. Aku sudah mencoba."
"Itu alasan kau selalu bertingkah aneh didekat kami? Kau selalu menghindar jika diajak berdiskusi? Kau bahkan menenggalamkan Ayahku begitu saja dan tidak pernah merasa bersalah? Kau tidak pernah berkata langsung padaku atau ke Dhanu!" sahut Baruna melangkah ke depan.
"Aku mencoba untuk memberitahu kalian. Tapi kupikir ini akan mempengaruhi persahabatan kita," Edma membantah.
"Sahabat tidak melukai dari belakang. Sahabat akan meminta maaf. Dan sahabat tidak akan membunuh Ayah sahabatnya sendiri!" bentak Baruna.
Baruna menggeleng kepala kecewa. Selama ini ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa menyelamatkan Ayahnya. Merasakan kepedihan dan muram yang menenggelamkan. Jawaban atas pertanyaannya kini ada dihadapannya. "Barangkali karena kita memang tidak pernah saling mengenal."
"Baruna, aku tak sengaja. Itu kecelakaan. Kau tahu betapa liciknya Putri Deta untuk menguasai kristal itu," jerit Edma.
"Aku tidak tahu harus berkata apa lagi padamu," sahutnya pecah.
Edma belum menjawab ketika tinju dari Baruna melayang cepat ke rahangnya. Beruntun dan akhirnya Baruna melangkah mundur. Ia bergerak pergi tanpa pernah menoleh.
Menyisakan Dhanu yang masih berdiri di sana, menyaksikan dengan raut muram.
"Dhanu, aku minta maaf," kata Edma dengan nada mendesak dan bersalah.
Raut Dhanu sulit dibaca, ia hanya memandang sayu dan menepuk pundak Edma singkat. "Terkadang, minta maaf tidak menyelesaikan semuanya. Dan apa yang hancur tidak akan pernah kembali utuh."
Seluruh tubuh Edma merasa tertusuk saat Dhanu beranjak pergi. Hanya kalimat singkat, tapi mencengkramnya dalam perasaan bersalah. Ketika kemarahannnya memuncak dan ingin melampiaskan pada Putri Deta, perempuan itu sudah tidak ada.
Edma terduduk lemas di batu. Kini, langit menggelap tergantikan bulan yang menerpa lautan. Dalam benaknya, ia memutar ulang seluruh adegan. Perkenalan dengan Brevan, awal berteman dengan Baruna dan Dhanu, cerita-cerita tentang Ayah dari Ibunya, dan terakhir semuanya kini hanya kenangan. Karena ia merusak segalanya.
Kali ini tujuannya hanya dua. Menjemput Brevan dan mendapatkan kristal itu kembali. Ia akan meminta maaf pada dua saudara itu jika semuanya sudah beres. Komitmen hatinya terusik saat mendengar Putri Tenggara menyampaikan pesan.
"Brevan dalam bahaya," katanya panik.
Ia sontak berdiri. Lantas menjawab, "Di mana perempuan itu sekarang?"
"Terpenjara dalam istana Putri Deta. Kristal itu juga ada di sana, firasat sang Magi tidak pernah salah," sambungnya. "Ingat, kau harus hati-hati. Selalu banyak jebakan di mana benda berharga berada."
Edma mengangguk. "Selalu. Rasa khawatirmu berlebihan."
Ketika hendak beranjak, Putri Tenggara kembali berbicara. Kali ini lirih dan nyaris kalah oleh desir angin yang ada.
"Alasan aku selalu khawatir padamu adalah... karena aku tidak pernah berhenti menyayangimu."
Sontak Edma terdiam. Genap sudah masalahnya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertarungan Terakhir Pangeran
FantasíaAmbil kristal ini, atau relakan nyawa Brevan. Atas perintah Bawanapraba untuk menemukan serpihan kristal. Edma menyamar menjadi rakyat jelata. Membaur di desa dan menginap di rumah Brevan. Serangkaian rencana yang Edma susun berujung pada masuk diam...