Pagi ini Adrien melakukan rutinitasnya dengan sedikit hambatan. Kakinya yang kemarin terkilir kini mulai terlihat bengkak. Adrien memang menolak saat Andrew memaksanya untuk pergi ke dokter, ia berdalih jika kakinya pasti akan sembuh dengan obat salep yang mereka beli di apotik saat dalam perjalanan pulang.
Karena kakinya yang sakit, Adrien membatalkan seluruh jadwal pemotretannya hari ini dan menghabiskan waktunya di rumah sendirian karena Andrew juga harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Adrien tengah menikmati kopinya dan bersantai di sofa ketika bel berbunyi.
"Ahhh.... Siapa lagi yang berkunjung disaat seperti ini?" Gumamnya.
"Selamat pagi nona Adrien." Sapa seseorang ketika Adrien baru saja membukakan pintu.
"Apa kau seorang dokter?" Tanya Adrien, meskipun dari penampilannya saja ia sudah tau jika lelaki itu pasti seorang dokter.
"Tepat sekali, aku seorang dokter yang sengaja diminta datang kesini untuk mengobati kakimu." Jelasnya.
"Apa...." sebelum Adrien menyelesaikan kata-katanya dokter itu menarik lengannya dan memintanya duduk di sofa.
"Duduklah nona." Pintanya.
"Tunggu... Dengarkan aku, aku TIDAK membutuhkan ini. Kau mengerti?? Aku TIDAK membutuhkannya." Adrien menekan setiap kata "TIDAK" dengan jelas.
"Kakimu bengkak nona, jika tidak segera diobati akibatnya akan fatal. Aku yakin kau tidak ingin kehilangan salah satu dari kedua kakimu yang indah ini."
"Apa??" Adrien membelalakkan matanya mendengar jawaban dokter itu.
"Apa kau sudah gila??" Tanya Adrien tak habis pikir. Kakinya hanya terkilir mana mungkin harus berakhir di amputasi jika tidak diobati?? Tidak masuk akal.
"Aku hanya ingin mengobatimu nona. Itu adalah tugas yang diberikan padaku. Dan aku harus melakukannya." Ucapnya seraya mulai mengeluarkan beberapa barang dari dalam tasnya.
"Memangnya siapa orang yang sudah berani menyuruh dokter gila sepertimu untuk mengobatiku?" Adrien menatap tajam ke arah dokter itu.
"Aku disuruh oleh seseorang, itu artinya orang yang menyuruhku adalah seseorang." Jawab dokter itu dan kemudian tersenyum kecil.
Adrien sama sekali tak berminat untuk tertawa. Ia mencoba mengabaikan candaan yang sama sekali tidak terdengar lucu di telinganya itu. "Apa Andrew yang sudah menyuruhmu?" Tanya Adrien lagi beharap dokter itu akan menjawab pertanyaannya dengan baik. Setidaknya, lebih baik dari sekedar candaan murahan.
Dokter itu menatap Adrien sesaat lalu kembali tersenyum.
"Mungkin." Gumamnya.
Mau tidak mau Adrien membiarkan dokter itu mengobatinya. Meski sebenarnya ia tidak yakin jika dokter itu adalah dokter sungguhan. Terlebih lagi dengan sikap dan kata-kata yang seenaknya. Ia sama sekali tidak dapat mewakili image seorang dokter.
Seperti dapat membaca pikiran Adrien, dokter itu berdeham.
"Namaku Jimmy, tapi orang biasanya memanggilku dengan sebutan Jay." Matanya menatap Adrien, tapi tangannya terus bekerja dengan sigap dan mulai melilitkan perban di pergelangan kaki gadis itu.
"Mungkin aku memang tidak terlihat seperti seorang dokter yang profesional. Tapi kau tidak usah khawatir, aku cukup berpengalaman dalam hal ini. Aku akan memastikan kakimu sembuh dalam waktu dua hari, jika tidak kau bisa mencabut izin praktekku." Tawarnya.
Mendengar apa yang dikatakan dokter itu Adrien terdiam sejenak. Apa dokter itu baru saja membaca pikirannya? Sebenarnya siapa yang telah dikirimkan Andrew kesini, seorang dokter atau peramal?
"Tawaranmu cukup menarik, aku akan memegang kata-katamu. Dan jika kakiku tidak sembuh dalam 2 hari, bersiaplah untuk kehilangan izin praktekmu." Kata Adrien mengancam.
"Baiklah." Jawabnya santai.
Sudah 15 menit berlalu, dan kini pergelangan kaki Adrien telah resmi terbungkus lilitan perban dengan sempurna. Jay menegakkan tubuhnya dan berdiri.
"Baiklah, sekarang sudah selesai." Ia menepuk-nepuk kan telapak tangannya ke paha.
"Aku sebenarnya sangat ingin duduk dan minum kopi bersamamu. Tapi sayangnya aku sudah ada janji lain hari ini." Katanya percaya diri.
"Mungkin lain kali di kunjunganku yang ke dua. Aku akan kemari besok untuk mengecek kakimu dan mengganti perban itu." Sambungnya.
"Sepertinya lebih cepat kau pergi, itu akan jauh lebih baik. Dan untuk perban, aku rasa aku bisa menggantinya sendiri." Jawab Adrien sinis.
Jay tersenyum mendengar jawaban Adrien.
"Oh nona.... Kau manis sekali. Tidak usah berterima kasih, lagi pula aku di bayar untuk semua ini." Ia menepuk bahu Adrien pelan.
"Satu lagi, kau bisa menggunakan tongkat ini untuk membantumu berjalan." Katanya seraya menyerahkan tongkat itu kehadapan Adrien. Meski enggan Adrien tetap menerimanya. Mau bagaimana lagi? Sepertinya ia memang membutuhkannya.
Selanjutnya dokter itu pergi, dan Adrien kembali melajutkan aktivitasnya. Bersantai, melamun dan minum kopi, sesekali ia juga mengumpat mengatai jay si dokter gila. Dan detik berikutnya ia hanya tersenyum sendirian.
"Dia benar-benar gila..." Gumamnya.
***
Jam sudah menunjukkan pukul satu, Adrien merasakan perutnya berbunyi. Sepertinya ia lapar, maklum saja sejak pagi Adrien tidak makan apapun, ia juga tidak minum apapun selain selain secangkir kopi. Dengan sulit, ia mencoba untuk berjalan menuju meja makan. Beruntung sudah ada beberapa jenis makanan yang tertata rapi di sana, dan semuanya adalah makanan kesukaan Adrien.
Terkadang memiliki teman seperti Andrew itu memang sangat berguna. Tanpa diminta Andrew selalu melakukan apa yang Adrien inginkan. Bahkan sebelum pergi, ia masih saja menyempatkan diri untuk menyiapkan makanan kesukaan Adrien. Ia tahu benar jika Adrien tidak bisa memasak, jangankan memasak Adrien bahkan tidak pernah menyentuh peralatan dapur sekalipun seumur hidupnya.
"Drew, untuk ini aku memaafkan kesalahanmu tentang dokter itu." Serunya dan mulai makan dengan semangat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Color In The Dark
RomanceEntah bagaimana caranya menggambarkan sebuah rasa yang terpendam... Antara kau dan aku, atau kita??? Entahlah... hanya satu yang mungkin nyata... Bagiku kita adalah sama Dua raga dalam satu jiwa Aku hanyalah sesak tanpa dirimu Aku hanyalah hampa t...