Kini Jay tengah berada di halaman depan sebuah gedung perusahaan yang sangat megah. Salah satu perusahaan industri yang cukup terkenal di New York. Ya. Perusahaan milik keluarga Rowland yang merajai hampir seluruh pangsa pasar industri di Amerika.
Jay membuka sweater nya, dan melangkahkan kaki perlahan. Seorang resepsionis berdiri dan membungkukkan badan ketika melihat Jay mulai masuk.
"Selamat sore." Ucapnya lalu tersenyum lebar. Jay berhenti sesaat dan menghampiri resepsionis itu.
"Apa kakakku ada di dalam?" Tanyanya.
"Ya, tuan ada. Tapi ia bilang sedang tidak ingin diganggu."
"Omong kosong, aku adiknya. Kau pikir dia akan terganggu dengan kedatanganku?" Jay memicingkan mata membuat wanita itu menundukkan kepalanya.
"Tidak tuan, bukan itu yang saya pikirkan. Anda bisa menemuinya di ruangannya." Ucap resepsionis itu pada akhirnya.
***
James memijat pelipisnya perlahan, hari ini jadwalnya begitu padat. Baru saja ia selesai dengan rapat dan sekarang ia sudah harus dihadapkan pada tumpukan berkas di atas mejanya. Tapi, mau bagaimana lagi. Sebagai seorang CEO dari sebuah perusahaan besar, tentunya ia juga mempunyai tanggung jawab yang tak kalah besar.James menoleh ketika mendengar pintu diketuk. "Masuklah." Ucapnya dengan nada perintah.
Detik berikutnya pintu terbuka dan menampilkan seorang gadis berwajah Asia yang bekerja sebagai sekretaris pribadi James.
"Ada apa Ana?." Tanya James seraya kembali mengalihkan pandangannya ke arah tumpukan berkas yang sejak tadi tengah ia periksa.
"Sudahlah, kau tidak perlu seformal itu. Aku tidak perlu izin untuk bertemu dengan kakakku. Mengerti? Mengapa semua orang di kantor ini bersikap berlebihan?."
Tiba-tiba Jay memasuki ruangan tanpa permisi, menoleh kepada Ana yang baru saja hendak menjawab pertanyaan James. Ia melempar sweater nya ke sofa di sudut ruangan.Menyaksikan hal itu James menaikan sebelah alisnya.
"Sudahlah Ana, biarkan saja. Kau bisa kembali bekerja." Ucap James dengan penuh wibawa.
"Baik tuan." Jawab Ana sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu.
"Apa yang kau lakukan disini? Bukankah aku sudah memberimu sebuah tugas?." James meraih secangkir kopi yang tersedia di samping meja dan mulai menyesapnya perlahan.
"Aku sudah menyelesaikan nya, besok aku akan kesana lagi untuk mengganti perban di kakinya." Jawab Jay santai.
"Benarkah?." James meregangkan jemarinya yang terasa kaku dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Bagaimana kau melakukannya? Maksudku. Dia keras kepala sekali saat berbicara denganku. Lalu, bagaimana dia bisa mendengarkanmu dengan semudah itu?."
"Terkadang wanita itu memang rumit. Tapi meyakinkan seorang wanita bukanlah hal yang sulit bagi seorang Jay. Dan aku yakin kau tau itu." Jay meraih buah apel yang tersedia di meja dan mulai memakannya.
James melipat kedua tangannya di depan dada, menunggu Jay melanjutkan bicaranya.
"Lukanya tidak terlalu parah, hanya terkilir saja. Tapi, sepertinya hal itu cukup berdampak pada pekerjaannya." Sambung Jay menjelaskan.
"Pekerjaan? Memangnya apa pekerjaannya?." Tanya James penasaran.
"Oh ayolah James. Dia seorang model terkenal, kau tau?"
James kembali menegakkan duduknya, ada ketertarikan di wajahnya saat mendengar tentang gadis itu. Ia kembali meraih cangkir kopi dan menghabiskan isinya dalam sekali tegukan.
"Seorang model ya? Cukup menarik. Siapa namanya?" Tanya James penasaran.
Jay memutar bola matanya. Kakanya James mungkin tau tentang segala hal yang berhubungan dengan perusahaan, tapi soal dunia luar dia sama sekali tak tau apa-apa. Dia seperti orang yang memiliki dunianya sendiri, hanya dia bersama tumpukan kertas konyol itu.
"Victoria Adriena Willey." Jawabnya singkat.
Seketika James merasakan seluruh tubuhnya menegang. Tangan dan kakinya mulai terasa dingin, tiba-tiba saja ia merasa sesak. Otaknya seakan tak mampu mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh adiknya. Membuatnya hanya dapat mematung tanpa melakukan apapun.
Jay terlihat heran dengan reaksi James. Apa dia mengatakan sesuatu yang salah?
"Ada apa denganmu James, reaksimu saat mendengar nama itu seperti seseorang yang mendengar kematian orang tuanya. Apa kau sakit? Apa perlu ku periksa?." Tanya Jay sedikit khawatir. Bagaimana tidak? Saat ini wajah kakaknya itu benar-benar pucat pasi.
"Tidak, aku baik-baik saja. Aku hanya... Lelah." James mencoba bicara senormal mungkin, namun ia tetap tak bisa menyembunyikan getaran dalam nada suaranya.
"Sure?" Tanya Jay memastikan.
"Yes, i'm sure." Jawab James singkat.
"Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu. Jika kau merasa lelah, beristirahatlah. Jangan paksakan dirimu James, lagi pula untuk apa kau mempekerjakan banyak pegawai jika kau masih harus mengerjakannya segalanya sendiri? Jagalah kesehatanmu. Jika kau merasa butuh seorang dokter kau bisa memanggilku, okay." Ucap jay seraya bangkit dari kursi dan melangkah pergi.
Sementara itu James masih tetap mematung di tempatnya. Seluruh syarafnya seakan lumpuh, ia bahkan tak mampu mendengar apa yang dikatakan Jay tadi.
Sebenarnya Jay sendiri masih merasa heran dengan reaksi James. Apalagi, setelah Jay berbicara panjang lebar padanya ia sama sekali tak memberikan respon apapun. Padahal Jay sudah terdengar seperti seorang ibu yang mencemaskan putranya saat berbicara tentang kesehatan James tadi. Seharusnya kakaknya itu mengejeknya, atau setidaknya melemparkan tatapan sinis seperti bisanya. Namun kali ini berbeda, James sama sekali tidak mengejeknya ataupun melemparkan tatapan sinis padanya. Ia seperti tengah memikirkan sesuatu, sesuatu yang tak bisa Jay mengerti. Tapi Jay sama sekali tak mau mempermasalahkan hal itu. Mungkin kakaknya memang terlalu lelah dengan semua pekerjaan di kantor.
Kini di ruangan itu hanya ada James, bersama setumpuk kertas yang masih harus ia periksa. Sudah 15 menit dan James masih saja berdiam diri tanpa melakukan apapun. Ingin rasanya James kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya. Tapi nama itu, nama itu telah berhasil membuat konsentrasinya terpecah belah.
"Victoria Adriena Willey." Ucap James dengan suara selirih angin. Apakah adiknya baru saja menyebut nama itu, James merasa mungkin ia mengalami masalah pendengaran. Mungkin adiknya tidak menyebut nama itu. Tapi, benarkah?
"Ahhh... Sial." James mengacak rambutnya, hanya sebuah nama dan sekarang ia sudah frustasi.
Ia memejamkan kedua matanya, ingatannya melayang pada kejadian bertahun-tahun yang lalu, kejadian yang telah merenggut segalanya. Segala yang ia punya, kejadian yang telah mengambil kebahagiaan dari hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Color In The Dark
RomanceEntah bagaimana caranya menggambarkan sebuah rasa yang terpendam... Antara kau dan aku, atau kita??? Entahlah... hanya satu yang mungkin nyata... Bagiku kita adalah sama Dua raga dalam satu jiwa Aku hanyalah sesak tanpa dirimu Aku hanyalah hampa t...