Angin marah.
Embusan napas yang biasanya tenang dan teratur itu kini berubah menjadi teriakan yg penuh dengan makian.
Guratan asimetris yang biasanya terukir di wajah laki-laki berkulit sawo matang itu kini telah lenyap. Hilang termakan luapan emosi yang menyelimuti dirinya.
Angin yang biasanya tenang. Kini berubah menjadi gumpalan petir yang siap menyambar segalanya.
"Kau katakan ibuku pelacur?! Bagaimana dengan mulutmu yang lebih pantas disamakan dengan binatang itu?" Teriakan Angin menggema ke seluruh ruangan kelas. Memekakkan telinga seluruh siswa di sana. Semuanya menahan napas. Suasana semakin mencekam sejak Angin meluapkan amarahnya.
Calvin, laki-laki berkulit mulus, yang sekarang berada di cengkraman tangan Angin hanya bisa memejamkan matanya kala teriakan Angin menerpa wajahnya.
"Katakan padaku, apa yang kau ketahui tentang kehidupan ibuku? Katakan?!"
Calvin bergeming. Keringat mengucur di dahinya. Tubuh yang biasanya berjalan dengan sombong itu kini hanya bisa terkulai lemas di bawah desakan Angin yang mengamuk.
🍂🍂🍂
Angin bergerak tenang. Diusapkan kedua tangan ke wajahnya yang mulai berkeringat.
Segerombolan laki-laki di hadapannya ini memang seringkali membuatnya kewalahan mengontrol fisik dan mentalnya.
"Hei, anak pelacur, belikan aku minum!"
Salah satu dari anak orang-orang kaya itu kembali menyuruhnya, padahal perintah yang sebelumnya belum selesai ia kerjakan.
"Aku bukan anak pelacur," ujar Angin, sangat pelan.
"Angin! Cepatlah."
Angin mengembuskan napasnya secara perlahan. Tenang. Tenang. Ia harus tenang agar urusannya dengan anak-anak tukang hina ini selesai.
"Ini." Angin memberikan minuman kepada salah satu dari keempat anak yang tadi memerintahkannya.
"Bayar dengan uangmu, ya? Kulihat semalam ibumu jalan dengan seorang pria tua. Mungkin semalam ia mendapat uang yang sangat banyak. Ya 'kan?"
Itu bukan pertanyaan, tapi lebih menuju ke perintah dan hinaan. Walaupun Angin menolaknya, mereka akan tetap memaksa. Dan jika ia tetap menolak, gerombolan itu akan memukulinya seraya menghina kehidupannya, termasuk ibunya.
"Hei, jawab pertanyaanku!" Anak laki-laki itu mengangkat dagu Angin menggunakan telunjuknya dengan paksa, membuat urat-urat di leher Angin terasa nyeri. Namun itu tak seberapa jika dibandingkan dengan rasa nyeri yang timbul di dadanya akibat perkataan tersebut.
"Angin, jawablah!"
Angin memejamkan matanya seraya berucap, "ya, ibuku mendapat uang yang banyak semalam."
Mendengar itu, segerombolan anak laki-laki di hadapannya tertawa sementara ia merasa bersalah atas ibunya.
Maafkan aku, bu.
Kepalan tangan Angin menguat ketika ia mendengar suara tawa yang membesar. Saking kuatnya kepalan itu sampai-sampai membuat buku-buku jarinya memutih. Ingin sekali rasanya Angin melayangkan kepalan itu ke wajah-wajah yang ada di depannya ini, tapi Angin sadar bahwa ia harus tetap tenang. Agar dirinya tak berubah menjadi badai.