"Kau mewujudkan mimpiku. Terima kasih, Malam." Helena menatap kagum bintang-gemintang yang ada di ruang tamu rumah barunya. Bintang-bintang itu diwujudkan dalam sebuah pola-pola pembuatan rumit yang hanya dimengerti oleh sang arsiteknya, Malam.
"Sudah menjadi tugasku."
Helena, bintang utama malam ini, mengulurkan tangannya untuk mengajak Ajitamalam bergandengan menuju aula pesta. Pesta yang diadakan dalam rangka berdirinya Rumah Baru Helena Sang Mega Bintang Hollywood yang Luar Biasa Indah.
Helena dan Malam disambut meriah oleh para artis dunia, pebisnis, pejabat pemerintah, dan orang penting di industri hollywood ketika mereka baru selangkah menginjakkan kaki di aula pesta. Ratusan pasang mata kaum elite dunia memandangi mereka layaknya melihat berlian seharga setengah juta dolar. Senyuman penuh penghargaan dan rasa kagum pun tak pernah lepas disuguhkan kepada Helena dan Malam.
"Baiklah semuanya, harap tenang." Helena naik ke atas panggung dan berusaha mengendalikan keadaan karena suasana mulai ricuh. Kaum-kaum hebat dunia yang hadir di aula pesta rumahnya sekarang ini sudah sibuk berbincang-bincang sambil sesekali menatap Malam dengan binar mata penuh kekaguman.
"Aku benar-benar merasa bahagia karena rumah impianku akhirnya terwujud. Tentu saja semua itu tidak lepas dari seorang arsitek hebat yang dimiliki dunia kita--Ajitamalam!"
Lagi-lagi suasana ricuh dengan tepuk tangan ketika nama Malam disebut dengan lantang oleh diva dunia, Helena.
"Malam ini, kita akan berpesta untuk arsitek hebat itu." Helena mengambil gelas minumannya lalu menatap Malam seraya tersenyum. "Bersulang!"
Malam menatap kerumunan orang yang paling berpengaruh di dunia itu dengan senyum tipis. Bagaimana bisa ia berada di tengah-tengah mereka? Bagaimana bisa ia menjadi bintang di pesta ini?
***
Ada bintang-gemintang di atap rumah Ajitamalam. Pada siang hari pula. Bintang-bintang itu akan semakin bercahaya ketika matahari sedang berada di puncaknya. Sewaktu Malam kelas 1 SD, ia senang sekali mengamati bintang-bintang itu sebelum tidur siang. Setelah puas mengamati dan berimajinasi tentang bintang-bintang itu, ia akan menyuruh ibunya menanyikan lagu Ambilkan Bulan, Bu namun kata bulan diganti menjadi bintang. Suara ibunya yang lembut disusul matanya yang kian melemah, maka tak susah bagi Malam untuk tidur siang.
Ketika di bangku SMP, Malam mulai paham mengenai kondisi perekonomian keluarganya. Ayahnya seorang kuli bangunan sementara ibunya penjual gorengan. Kedua orang tuanya harus menghidupi Malam bersama ketiga adik perempuannya. Di usianya yang baru empat belas tahun, Malam cepat mengerti berbagai hal; tentang kerja keras Ayahnya untuk menyekolahkan ia dan adik-adiknya, tentang Ibunya yang berusaha mengatur keuangan agar mencukupi, dan tentang dirinya yang seharusnya sudah bisa membantu perekonomian keluarga. Untuk itulah diusianya yang masih teramat muda, Malam sudah memutar otak untuk sedikit membantu perekonomian keluarga. Ia mengikuti lomba-lomba di sekolah yang ketika menang akan mendapatkan uang, membantu tetangganya membersihkan kebun agar dapat uang, juga membantu gurunya menebang pohon pisang agar dapat uang. Di usia yang masih amat muda, Malam telah ditempa untuk menjadi pribadi yang penuh pengertian dan bertanggung jawab.
"Aji."
Hanya satu orang di muka bumi ini yang memanggilnya dengan sebutan Aji. Ayahnya.
Di hari Minggu itu, ketika matahari sedang menanjak tinggi, Malam dan Ayahnya memulai pembicaraan yang tak biasa. Pembicaraan yang---percaya tak percaya---akan menentukan nasib Malam ke depannya.
"Kau sedang mengamati bintang-bintang-mu?" Ayah Malam mengikuti arah pandangan anaknya yang fokus pada atap rumah mereka. Ternyata, kebiasaan Malam mengamati "bintang-bintang" itu belum hilang.