aku; sang penyaksi langit

30 6 2
                                    

jikalau aku adalah angin, maka terima kasih untukmu karena telah menjadi langit: yang dapat terus kusayangi tanpa perlu sebuah pengakuan

-rasa abadi untuk sang penyaksi langit

***

"Lomba menulis cerita pendek  yang diadakan oleh salah satu penerbit terkemuka di Amerika dimenangkan oleh Gemintang Rasa Abadi, putri dari novelis legendaris republik ini: Rasi Bintang! Mari kita berikan tepuk tangan yang megah untuk sang juara!"

Rasa menaiki panggung diiringi gemuruh tepuk tangan dari ratusan manusia yang hadir di malam penganugerahan gelar juara untuk para pemenang lomba menulis cerpen. Lima besar pemenang akan mewakilkan Indonesia untuk meneruskan lomba ke Amerika.

"Selamat malam semuanya. Salam literasi, salam aksara!" Rasa memberi salam kepada seluruh penonton diiringi senyum manis yang tercetak di bibirnya. "Tak henti-hentinya saya ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan seluruh pihak yang selalu mendukung saya hingga sampai pada posisi ini. Perjuangan saya masih panjang, masih berlanjut, masih ada ribuan kisah yang akan saya tuliskan nantinya. Semoga saya dan tentunya kita semua dapat selalu diberikan kemudahan untuk menggapai impian kita. Dan sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada semuanya! Kemenangan ini adalah kemenangan kita bersama." Di akhir pidatonya, Rasa menerima piala dari perwakilan penerbit kemudian mengangkatnya untuk ditunjukkan kepada seluruh penonton. Gemuruh tepuk tangan pun kembali terdengar.

***

"Bangke!" Langit tiba-tiba saja menghentikan permainan gitarnya ketika ia tak sengaja melihat jam dinding cafe yang telah menunjukkan pukul sebelas malam. "Telat lagi gue! Sial." Langit buru-buru turun dari panggung, meninggalkan teman-teman band yang menatapnya dengan pandangan menuntut penjelasan. Pengunjung cafe pun ikut menatap kepergian Langit yang serba tiba-tiba itu.

"Bang Arda, gue ada urusan yang sumpah demi semesta nggak bisa ditunda-tunda lagi. Da-dah, bang, da-dah semuanya!" Langit berteriak seraya melambaikan tangan ke arah panggung sebelum tubuhnya menghilang dari pintu.

***

"Iya, Ma, iya, ini Rasa lagi di jalan menuju rumah. Mama tenang aja, oke? Ah? Nggak, Ma, yaampun. Rasa nggak bakal ngelayap kemana-mana lagi. Iya, iya, Mama Rosa dan Papa Rasi yang super duper bawel ini. Lagian Rasa juga udah punya SIM kok. Oke, Ma. Dah. See you at home, mom."

Rasa mematikan sambungan telepon kemudian kembali melajukan mobilnya untuk segera pulang ke rumah.

Papa dan Mama Rasa tak bisa datang ke acara penganugerahan karena harus menjaga Gemintang Raga Aksara, adiknya, di rumah. Raga yang masih berusia tiga tahun itu sedang sakit dan merengek tidak mau ditinggal baik oleh Papa maupun Mamanya. Ya, punya adik memang menyebalkan.

Jalanan menuju kompleks perumahannya sudah sepi dari kendaraan. Melihat kegelapan di sekelilingnya, ditambah lagi hanya ia satu-satunya pengendara yang melintas, membuat nyali Rasa sedikit menciut. Ia jadi menyesali keputusannya yang menolak diantar pulang oleh panitia acara.

"Sepi banget, sih?"

Menyadari suasana mulai terasa tak mengenakkan, Rasa memilih menyetel musik dari ponsel. Ia mencari-cari ponselnya yang tiba-tiba saja menghilang dari tasnya.

"Ah, dimana HP gue?"

Rasa melihat tas berwarna ungu pastel di pangkuannya dengan tangan kanan yang terus merogoh tas tersebut. Kegiatan itu rupanya membawa dampak buruk pada detik selanjutnya. Rasa yang kehilangan setengah fokusnya karena mencari ponsel tidak menyadari ada seseorang yang melintas di depannya. Kejadian itu berlangsung begitu cepat sampai Rasa tak sempat untuk berteriak. Ia baru menyadarinya ketika kepalanya merasakan nyeri yang luar biasa karena terantuk stir mobil.

Amor-Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang