Cakrawala memahami ada begitu banyak arti kepulangan bagi seseorang. Ada yang bilang, pulang akan menjadi sebuah kata kerja yang paling indah. Ada juga yang berkata bahwa pulang menjadi pilihan tepat ketika seseorang sudah benar-benar lelah dengan dunia. Hampir semua orang yang Cakra kenal mendefinisikan kepulangan sebagai sesuatu yang amat ditunggu-tunggu dan paling menyenangkan. Namun, bagi seorang Cakrawala Sore kepulangan menjadi kata magis penuh luka juga pengharapan. Ia paling benci jika harus pulang, tapi di sisi lain ia juga merindukan arti sebuah kepulangan.
From: Kak Senjani
Kamu sudah sampai mana? Kenapa malah pulang naik kapal? Seharusnya bilang sama kakak kalo uang kamu tidak cukup untuk beli tiket pesawat.
Cakra menutup telepon genggamnya, mengabaikan pesan yang ia terima sejak dua jam yang lalu dari kakak tertuanya. Percuma saja membalas pesan itu jika nyatanya sekarang kapal yang ia tumpangi sudah bersandar di Pelabuhan Laskar Pelangi. Keputusan Cakra untuk pulang naik kapal jelas bukan perkara uang. Ia memiliki uang yang lebih dari cukup untuk sekadar membeli tiket pesawat Jakarta-Belitung. Cakra lebih memilih menggunakan angkutan laut itu karena waktu tempuhnya lebih akan lebih lama daripada pesawat. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan Cakra demi memperlambat waktu tibanya di pulau kelahiran. Bahkan Cakra rela harus memutar rute agar dapat lebih lama di perjalanan meskipun harus merogoh ongkos lebih mahal lagi.
Kapal bersandar sempurna. Cakra melirik ke jendela kapal. Di sana sudah terlihat puluhan orang yang datang untuk menyambut kepulangan seseorang.
Bagaimana rasanya begitu dinantikan kepulangannya oleh seseorang?
Cakra tersenyum samar. Cepat-cepat membuang pikiran aneh itu sebelum dadanya kian terasa nyeri. Sudah sejak lama Cakra hidup tanpa pengharapan, mengubur dalam-dalam segala hal yang berkaitan dengan harapan dan mimpi. Lantas mengapa ketika kapal ini bersandar di pelabuhan tempat kelahirannya, sedikit harapan mulai kembali muncul di sebuah ruang dalam dirinya? Mengapa rasanya begitu menyesakkan saat ia melambungkan sebuah harapan?
"Mas?"
"Eh?"
"Maaf, Mas, kapalnya sudah mau dibersihkan. Mas tidak berniat turun?"
"Ahh." Cakra merapikan posisi topi cokelatnya. "Maaf, Mas." Kemudian bergegas menyandang ranselnya lalu keluar dari kapal.
Cakra sempurna menginjak kembali tanah kelahirannya setelah lima tahun seperti hilang ditelan bumi. Tidak pernah kembali sejak ibunya meninggal dunia. Kini ia dipaksa kembali oleh kakak tertuanya karena kondisi kesehatan ayahnya yang memburuk.
Ayah?
Hati Cakra sembilu.
🦋🦋🦋
Asa melirik jam tangan cokelat madu yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Pukul 17:52. Ia harus pulang sebelum namanya benar-benar tercoret dari kartu keluarga. Kalau ia sudah punya calon sih aman-aman saja, nah ini boro-boro calon imam, memasuki hato orang lain saja belum pernah.
Mama is calling
"Aduh, mampus." Asa mengangkat panggilan itu diiringi dengan ucapan bismillah. "Iya, Ma?"
"Kamu mau jadi hantu maghrib-maghrib gini belum pulang?" Mama menyemprot tanpa basa-basi.
"Iya, Ma, Ya Allah, iya. Ini Asa lagi beres-beres mau pulang."
"Beres-beres tuh di rumah kalo pagi. Udah buruan pulang sebelum papa."
Panggilan terputus. Asa menghela napas panjang. Heran kenapa bisa punya mama seganas ini.
Asa berjalan menuju parkiran sepeda. Sejak dulu, sepeda adalah kendaraan favoritnya. Menurut Asa, saat bersepeda pikirannya terasa jernih dan tubuhnya terasa ringan. Asa menyukai sensasi ketika ia mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi di jalanan menuju pelabuhan. Apalagi jika sore sehabis hujan. Beuh, dunia rasanya benar-benar milik ia dan sepedanya.
Kayaknya dunia tidak jadi milik berdua sebab entah ada bencana apa sampai-sampai rantai sepedanya rusak. Aneh. Mungkin ini karma karena tadi Asa ngomongin mamanya yang engga-engga.
"Ya Allah..."
Asa berjongkok, melihat kondisi mengenaskan rantai sepedanya. Ini pelabuhan pasti ada setan yang tiba-tiba punya hobi merusak rantai sepeda. Soalnya tuh ya Asa ingat betul kalau sepedanya baik-baik saja sejak terakhir kali ia meninggalkannya satu jam yang lalu. Masalahnya Asa sama sekali engga ngerti masalah perantaian ini.
"Sepedanya kenapa?"
Asa menoleh secepat kilat kemudian menemukan sepasang mata cokelat madu sedang menatap sepeda biru miliknya. Asa mengucap banyak-banyak terima kasih kepada semesta karena kayaknya ini malaikat penyelamat yang dikirimkan semesta untuk mengurus rantai sepedanya.
"Rantainya rusak." Asa berdiri, memberikan ruang kepada cowo bertopi dan bermata cokelat madu ini untuk memeriksa rantai sepedanya.
"Boleh saya benerin?"
Asa sempat bingung sejenak. Ini Mas-masnya ngelawak apa gimana. Engga perlu ditanya juga jawaban Asa pasti YES!! seribu kali.
"Boleh banget heheh." Asa tiba-tiba cengengesan sementara si cowo cokelat madu mulai menyentuh rantai sepedanya. Geraknya cepat dan tepat. Asa sampai takjub sendiri. Sepuluh menit kemudian si cokelat madu sudah berdiri kembali seraya membersihkan jari-jari tangannya yang menghitam karena rantai.
"Kayaknya udah bisa dipake."
"Wah, makasih banyak ya."
Si cokelat madu tersenyum kecil. "Sama-sama."
"Masnya baru tiba ya?" Asa bingung kenapa mulutnya tiba-tiba membuka topik pembicaraan.
"Iya. Saya duluan," Asa mengikuti arah pandang mata si cokelat madu dan mendapati abang ojek online yang baru saja tiba. "Pesanan ojek saya udah nyampe."
"Oh iya-iya. Makasih banyak ya mas. Hati-hati di jalan."
Si cokelat madu tersenyum kemudian berjalan menuju abang ojek online.
Asa bergeming sepersekian detik seraya mengikuti pergerakan si cokelat madu sampai dering panggilan masuk menyadarkannya.
"ASA! INI UDAH JAM BERAPA?"
🦋🦋🦋
ngetik-hapus-ngetik-hapus, akhirnya lahirlah karakter di luar ekspetasi. dengan vibes yang tiba-tiba muncul (padahal awalnya tuh si cakra ga gitu dan asa juga ga gitu wkwk)
sejujurnya udah kepikiran cakrawala-asa sejak seminggu yang lalu. tapi baru direalisasikan malam ini.
dan cerpen ini bakal bersambung (wkwk tumben karna biasanya ditulis dalam satu bab)