I'll search the universe
neol dasi chajeul ttaekkaji
nohji anheul geoya tikkeul gateun gieokdo
gyejeore saegyeojin uriui chueogeun dasi
gieoi dorawa neol chajeul tenikka
geuge saranginikka
saranginikka***
Telaga Baskara. Nama yang disematkan padanya sekitar dua puluh tahun yang lalu itu memiliki filosofi yang sangat mendalam. Ayahnya yang seorang tenaga ahli di sebuah perusahaan pertambangan digambarkan oleh Ibunya sebagai seorang lelaki yang tangguh layaknya karang, berjiwa seberani ombak, tetapi di sisi lain juga memiliki tatapan sehangat mentari. Terpilihnya kata Baskara untuk menjadi namanya. Namun, kedua orangtuanya merasa Baskara terlalu singkat untuk dijadikan nama. Setelah dipikir panjang, saling memberikan masukan, dan mencari kata pada buku-buku, kedua orangtuanya sepakat untuk menambahkan kata Telaga untuk mendampingi Baskara. Telaga Baskara.
Telaga dikaitkan Ayahnya seperti rupa Ibunya. Telaga yang tenang, telaga yang nyaman, dan telaga yang tak pernah mengusik. Mirip seperti sifat Ibunya. Ibunya yang lembut mampu menjadi pelengkap Ayahnya yang memiliki pembawaan sedingin es.
"Oi, Aga."
Telaga tersentak untuk sesaat, setelah cowok bermanik cokelat almond itu segera menetralkan ekspresinya.
"Kenapa?"
"Bunda bilang berapa hari terakhir ini ada cewek pake seragam SMA nitipin rantang makanan buat lo." Ripa, teman kampusnya, menajamkan pandangannya ke manik Telaga. "Lo macarin anak SMA, ya? Gila, Ga! Noh bidadari-bidadari kampus pada nanyain kontak lo malah diabaikan. Eh, ternyata malah macarin dedek gemes. Ckckck."
Telaga menatap Ripa sebentar sebelum pikirannya melayang ke kejadian lima hari yang lalu. Kejadian yang sampai sekarang selalu merangsak masuk ke otaknya dan mengacaukan pikirannya.
***
Lima hari yang lalu di. Pukul 17.30 WIB di sebuah rumah kos putra kala gerimis.
"Abang!"
Telaga mengernyit. Gerakan tangannya yang berniat membuka gerbang depan kos-kosan yang ia tempati terhenti karena merasa mengenali suara si pemanggil namanya.
"Bang Aga!"
Telaga menoleh dan menemukan Rinai, si bungsu di keluarganya, masih berseragam sekolah berlari ke arahnya. Wajahnya kusam, seragamnya berantakan, dan rambutnya sudah tidak tertata rapi lagi. Tapi dari semua kekacauan pada dirinya itu, cewek kelas tiga SMA itu masih mampu tersenyum ke arah Telaga. Senyuman yang diam-diam Telaga rindukan.
"Kamu kenapa ke sini?"
"Mau ngasih ini." Rinai menyerahkan plastik yang sudah bisa Telaga tebak apa isinya: lauk-pauk untuk makan malamnya. "Ibu masak teriyaki kesukaan abang."
Telaga tersenyum kecut. Berniat menolak pemberian itu, namun ketika maniknya menatap binar penuh harap yang si bungsu tunjukkan, Telaga jadi tak tega untuk menolak.
"Ayo masuk dulu."
Rinai tersenyum penuh semangat. "Akhirnya bisa masuk ke kastil abangku tercinta. Rinai penasaran banget di dalam ada apaan. Jangan-jangan di dalam kamar, abang lagi ngumpulin telur naga, ya?"