➖A Heart (1/2) [T]

15.6K 702 74
                                    

"Don't come near me;
you will be unlucky—"

.


.
.
Bagi Yoongi—sebuah kebodohan yang absolute memaksa pulang menerobos hujan pada waktu nyaris dini hari. Lalu berakhir dengan tubuh basah serta menggigil seperti anak kucing di halte. Salahnya sih—ia tidak membawa payung, ataupun mantel atau jaket tebal. Akhir-akhir ini cuaca sedang buruk, tidak dapat diprediksi dan dengan bangganya ia menghabiskan waktu seharian menulis lirik dan mengagungan cuaca yang terlihat cerah.

Lalu boom;

kehidupan mengajaknya bercanda dengan menurunkan hujan super lebat.

"Sial—" Yoongi mengumpat untuk kesekian kalinya, tubuhnya menggigil luar biasa karena kemeja flanel merahnya sudah basah kuyup, pendek kata ia terlihat menyedihkan. Atap halte tidak mampu menaungi tubuh mungilnya dari tetesan hujan ataupun sapuan angin beku. Yoongi memeluk tubuhnya sendiri sembari sedikit berharap akan ada bus malam yang lewat-lupakan mengenai fakta bus malam terakhir lewat jam sepuluh tadi. Sekaligus berdoa, tidak ada kejadian buruk yang menimpanya selain hipotermia.

Sesaat Yoongi tenggelam dengan lamunan mengenai kebodohannya, hingga ia merasa bahwa tubuhnya yang menggigil dinaungi satu payung hitam besar. Di depannya nampak seorang pria dengan jas hujan kuning cerah tengah memayunginya, menjadikan tubuhnya tameng dari tetesan hujan dan sapuan angin beku.

"Kupikir hanya aku orang bodoh yang nekat keluar di malam hujan seperti ini—tapi ternyata ada yang lebih bodoh dengan keluar tanpa payung atau jas hujan,"

Lelaki itu menggerutu menjadikan Yoongi terpaku. Antara kaget dan ketakutan, serta rasa paranoid yang mulai merambati kulitnya.

Bagaimana jika pria dengan mata tajam ini adalah orang jahat?

"Aku petugas yang sedang berpatroli," seolah lelaki itu mempu membaca pikiran Yoongi. Ia mengangsurkan payungnya dan tersenyum tipis. Saat itu pula Yoongi menyelami mata tajam sang petugas, terlihat begitu ramah dan teduh.

"Pulanglah sebelum tubuhmu mengalami hipotermia—kau bisa membawa payungku,"

"K-kenapa?" Yoongi terbata, tangannya gemetaran karena suhu dingin, menjadikan tubuhnya sedikit limbung untuk berdiri.

"Karena setiap orang baik berhak mendapat bantuan,"

Yoongi membeku.
.
.
.
.
"Wow takdir,"

Suara khas itu menjadikan Yoongi menoleh, menghentikan aktifitasnya menyusuri jajaran buku di rak perpustakaan. Refleknya seringan bulu, untuk mengenali lelaki dengan sorot mata tajam nan teduh serta mata siptnya yang terlihat seperti bulan sabit. Rambutnya berwarna segelap jelaga.

Ngomong-ngomong sejak malam itu, payung yang dipinjamkan kepada Yoongi belum dikembalikan—

—oke,Yoongi tidak tahu siapa namanya dan dimana ia bertugas. Jadi sekarang payung itu terselip di ransel Yoongi, kemanapun lelaki pucat itu pergi.

"Park Jimin,"

Lelaki itu mengangsurkan tangannya kepada Yoongi, senyum konyol tidak terlepas dari bibirnya yang terlihat penuh. Yoongi jadi membayangkan—bagaimana rasanya dilumat oleh bibir semenggoda itu.

Eh;

Sejak kapan ia jadi berfikir mesum begini.

"Tidak ada yang bertanya namamu," ketus Yoongi.

Gengsi;

lelaki sepanas Jimin harus ditanggapi dengan cara yang berbeda.

Prinsip Yoongi.

Ustulation.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang