Doubt or change?

1.7K 17 0
                                    

Nasya POV

Doubt or change?

"Ibu ingin kalian berpisah, jika ditanya apa alasannya? Banyak, banyak hal yang ibu baru tahu dan hal itu sangat memalukan untuk reputasi keluarga. Kamu paham maksud ibu, bukan?"

Itulah kata-kata yang cukup menohok dadaku, ibu mertuaku berkata seperti itu. Masuk akal memang karena sejak awal aku tidak memberitahukan keadaan detail keluargaku sebelum menikah, dan itu tertutup oleh penampilan serta pencapaianku. Usia pernikahanku masih seumur jagung yang akan segera masak, dan itu masih dalam tahap perkenalan. Ya, kusebut perkenalan karena kami menjalaninya seperti pacaran walaupun sudah menikah.

"Ibu, tolong jangan bercanda. Ini pertemuan keluarga, nggak lucu bercandanya."

"Ibu tidak sedang bercanda, Ibu serius, seharusnya diantara kalian tahu alasannya" suara yang penuh kemarahan dan kekesalan membuat semua orang di ruang keluarga menegang. Lirikannya mengarah pada ku, ya pada ku, bisa kutebak apa yang membuatnya seperti itu. Semua mata juga diam-diam mencuri pandang kearah ku.

"Berpisah atau kamu harus menikah dengan pilihan ibu?"

Menegang, apakah ini suasana yang menegang, aku tidak tahu. Yang kurasakan adalah pasrah, takut, ingin menangis. Suamiku wajahmu terlihat sedang menimbang memilih aku atau ibumu. Seumur hidup ini, aku tidak ingin kamu dihadapkan dengan pilihan tersebut, bukan aku yang meminta, bukan aku tak ingin kamu memilih ibumu sehingga melepasku, bukan aku ingin kamu menentang ibumu. Bisakah kamu membuat keputusan yang adil buat ku dan ibumu.

Satu per satu sepasang mata meninggalkan ruangan ini, tinggallah aku dan suami serta ibu mertua. Aku terdiam tidak dapat merangkai kata seperti orang bodoh, bingung, ingin aku bertindak egois tapi aku tahu aku baru didalam keluarga ini. Kurasakan suamiku memegangku, merangkulku, dan menuntunku ke dalam kamar tidur kami lalu izin meninggalkanku untuk menemui ibu. Lama terdiam, aku tersadar akan situasi ini. Aku ingin menangis namun ku tahan karena aku tidak mau dianggap lemah, cukuplah sanjungan tidak berguna sebagai istri yang belum lulus menjadi ibu rumah tangga ku sanding. Aku berdoa dalam diam. Suara pintu kamar yang terbuka, membuatku berbalik kearah suara itu.

Suamiku, tahukah seperti apa wajahmu saat itu? Terdapat guratan. Guratan kasih dan sendu.

At this rate, I might go crazy. No, actually I already might be crazy about you

The more I turn away from you, the more I miss you

I'm scared of this constantly frightening love, I even miss your shadow

I should have just passed you by, I shouldn't love you

Will you teach me what to do?

What should I do to escape this fate?

I love you, I love you, I love you, I love you to death even my heart hurts like crazy, even if my tears don't stop, even if I can't love you

I love you

(Bobby Kim "Afraid to Love")

Malam itu, kau diam seribu bahasa, kau tidak menampakkan senyum, kaupun tidak bermuka datar. Malam itu, adalah malam yang tertanam diingatanku setiap aku merasakan kehadiranmu. Malam itu, adalah malam yang dapat membuatku menangis tanpa sebab, sungguh bodoh bukan? Karena sebabnya jelas ada namun mengapa air mata keluar. Pasrah? Ikhlas? Ya, aku sudah dan masih mempertahankan. Lalu kenapa?

-*-

Cantik, sungguh cantik wanitamu, istrimu. Apakah dia temanmu ataukah dia cinta lamamu. Sungguh kuingin tahu namun kuurung niatku karena sudah kuputuskan untuk tidak mencampuri urusanmu, jika aku dikasih sapa maka aku akan menyapa namun jika aku tidak diajak sapa maka aku tidak akan bergerak untuk tahu. Sebatas itu, sandingan istri untukku. Aku tidak akan mendekat, sebagian kewajiban akan tetap aku upayakan selesai, sebagian hak akan kugunakan dengan sebaiknya, namun sudah tidak ada lagi kata kita walaupun masih bersanding kita, suami dan istri.

-*-

Lalu

Lalu

Lalu

Sudah berlalu masa untuk pengenalan kalian; kamu, keluargamu, dan dia.

Atas izinmu walaupun kamu bersikap sebagai penurut ibumu, aku diperbolehkan bekerja dan memiliki ruang sendiri. Entahlah aku berterima kasih atau bersedih karena izinmu. Tahukah kamu bahwa aku bersyukur karena memiliki ruang sendiri, kenapa? Karena sebagian diriku menolak untuk dekat denganmu, suamiku, karena aku tidak ingin memiliki sejarah perpisahan, karena aku ingin kehadiranku yang kau setuju untuk perpisahan menjadi hukuman buatmu karena telah mengikatku dalam pernikahan, suka atau tidak, sudi atau tidak, aku belum rela memasukkan kata perpisahan di kamus hidupku.

Kini kehidupanku adalah bekerja dan membaktikan diriku untuk keluarga kandungku. Ummi, abi, dan adik-adik adalah tujuanku pasti dunia yang ingin aku bahagiakan.

Ummi. Aku tidak tahu rasanya menjadi ibu namun aku tahu rasanya menjadi istri atau perempuan dalam keluarga. Ummi, maafkan anakmu ini yang sering bertingkah kasar, bertutur busuk, maaf ummi, maaf.

Abi. Aku tidak tahu rasanya menjadi ayah, karena aku seorang perempuan, namun aku tahu rasanya menjadi pencari rezeki untuk bertahan hidup dan untuk membahagiakan umi, abi, dan adik-adik. Abi, maafkan anakmu ini dulu pernah mengatakan hal kasar, memandang rendah, menyimpan dendam, maaf abi, maaf.

Abi, ummi. Maaf. Maaf. Maaf.

Maafkan anakmu ini karena pernah berpikir sial tentang pernikahan kalian. Jika tahu membangun pernikahan membutuhkan ilmu dan tenaga, pastilah anakmu ini akan memberi hormat.

Maafkan anakmu ini karena mengatakan bahwa pernikahannya baik-baik saja, percayalah abi ummi bahwa pernikahanku baik, tak perlu kalian tahu apa yang terjadi didalamnya, cukuplah anakmu ini yang menanggungnya. Abi ummi, maafkan anakmu yang telah berkata baik tentang suaminya, bukan bermaksud tak percaya, hanya saja aku masih ingin mendapat ridho Allah melalui ridho suamiku. Aku menginginkan kebahagiaan kalian dengan tidak bercerita masalah, aku ingin diwaktu kalian sekarang cukuplah kabar-kabar baik yang kalian dengar.

Aku baik.

Aku akan baik.

Aku usahakan untuk dalam keadaan baik.

Dan memang setelah malam itu, aku bertingkah baik seolah-olah permintaan ibu mertuaku dulu bukanlah bom buatku. Seorang yang belum mengenalku ataupun sangat kenal aku, akan melihatku dalam keadaan baik, tenang, dan mungkin sedikit acuh/tidak peduli.

Ya, aku berhasil menunjukkan itu. Satu hari setelah malam itu, di ruang keluarga, kami berkumpul, berdiskusi dalam hati dan akhirnya mendengar keputusanku.

"Tidak ada perpisahan. Silahkan ibu menikahkan suamiku dengan perempuan pilihan ibu. Silahkan kalian membenciku karena masih dalam keluarga ini. Aku masih mempunyai hak sebagai istri dan keluarga".

Tahukah kalian jika aku sudah tidak dianggap keluarga namun dengan tidak tahu malu aku masih berada didalam keluarga suamiku. Biarlah ini menjadi latihan bina mental untukku.

Suamiku, akan bersikap apa kamu?

Aku tidak menduga dan tidak ingin menduga apakah sikapmu menunjukkan keraguan atau perubahan. Doubt or change? Kamu sedang menunjukkan sikap apa? Aku dan kamu masih suami dan istri, namun kamu menyodorkan surat perpisahan yang sudah berbubuh tanda tanganmu. Aku masih mengingat surat itu dan jelas kamupun juga tahu karena kamulah yang menunjukkan dimana tempat penyimpanannya. Berbahagialah suamiku, karena aku akan benar-benar marah jika kamu tidak bahagia atas semua kejadian yang berlalu.

-*-

My Beloved, My Dear, How could you ...?Where stories live. Discover now