Aku tak tahu kenapa aku berada di kamar, kepalaku sedikit sakit, dan kulihat bi Inah berada di sampingku. Aku mencoba duduk dan kurasakan sedikit sakit, bi Inah terbangun menanyakan apa aku merasakan sakit dan kujawab dengan anggukan.
'Wahai Pemilik nyawaku, betapa lemah diriku ini.
Berat ujian dari-Mu, kupasrahkan semua pada-Mu.'
Sakit yang kurasa biarlah jadi penebus dosaku. Butir-butir cinta air mataku teringat semua yang Kau beri untukku. Ampuni khilaf dan salah selama ini, ya Illahi. Muhasabah cintaku.
(Stigma, Muhasabah Cinta)
"mbak Na, minumlah"
"bi, mas Zidan ada di rumah?" tanyaku padanya dan dijawab dengan gelengan. Esok harinya, ku cari mas Zidan ataupun Reyhan namun tak kulihat keberadaan mereka. Esok harinyapun begitu. Hari demi hari, sudah 2 minggu aku berada di rumah mertuaku, menanti mas Zidan dan Reyhan namun tak kunjung ku bertemu. Aku coba meneleponnya namun panggilan teralihkan. Mungkin perkataan ibu mertuaku benar, tentang calon mertua mas Zidan dan ibu baru untuk Reyhan. Aku lemah namun aku mencoba bangkit berpikir positif, melakukan tugas-tugasku walaupun aku diacuhkan.
Sudah 2 minggu berlalu lagi, satu bulan aku menunggu Zidan dan Reyhan. Kudengar suara gerbang terbuka dan suata mobil di memasuki pekarangan rumah, kuminta bi Inah untuk melihat karena pagi ini semua orang sedang keluar dan hanya aku dan bi Inah yang tertinggal di rumah. Bi Inah keluar lalu kembali menemuiku dengan raut muka senang.
"mbak Na, itu mas Zidan dan Reyhan pulang" katanya membuatku langsung bangun dan berlari menuju rumah dalam. Ku lihat Zidan sedang menidurkan Reyhan di kamarnya. Aku mengetuk pintu, dan Zidan tanpa melihatku berkata padaku yang dikiranya bi Inah untuk membuatkannya air panas untuk mandi. Aku ingin bertanya padanya tentang perkataan ibu mertuaku namun kuurungkan niatku dan melangkah menuju dapur. Setelahnya akupun datang membawakannya setengah ember air panas, kuketuk pintunya, kulihat dia sedang mengusap Reyhan dan berkata untuk membawanya ke kamar mandi, dia terlihat lelah. Aku urungkan niatku, kulakukan apa yang dimintanya tanpa suara dan kembali ke kamar. Reyhan, dia sudah menjadi anak lelaki yang tumbuh besar, yah tentu karena sudah saatnya Rey mendapatkan pendidikan formal dasar.
Hari sudah menandakan siang, setelah membantu bi Inah dengan pekerjaannya, aku pergi mengetuk pintu kamar Zidan. Belum terdengar ada jawab, akupun kembali mengetuk, lagi dan lagi, dan akhirnya terdengar jawaban 'ya, sebentar'. Lalu terbukalah pintu kamar dengan Zidan yang masih terlihat mengantuk mencoba menyesuaikan pandangannya, lalu diam terpaku menatapku, akupun menatapnya lama dan menatap Reyhan.
"mengapa-, kita bicara di tempat lain" kata suamiku, yah suamiku karena aku ingat dengan pasti aku belum menandatangani surat yang dia minta. Dia membawaku ke ruang kerja yang jauh dari kamarnya. Aku tahu alasannya, mungkin, dia tidak ingin anaknya mendengarku.
"kenapa kamu disini, Na?" katanya
"aku memang akan di sini, sudah kukatakan bahwa aku akan kesini" kataku dan dia hanya diam menatapku.
"apa kamu sudah menandatangani surat perpisahan kita? Sudah sebulan lalu aku mengirimnya" katanya
"tidak" jawabku
"aku sudah beri kesempatan untukmu Na tapi kau mengacuhkannya, mengertilah" katanya
"aku sudah disini, aku akan mengabulkan permintaanmu, aku akan menjaga Reyhan mulai dari sekarang-" kataku namun tidak didengar Zidan.
"aku sudah beri kesempatan tapi tidak untuk sekarang, lebih baik kita berpisah, akan baik untukmu dan Reyhan" katanya lalu berpaling dan menelepon seseorang menyatakan untuk membawa surat yang dimintanya lagi dan meninggalkanku. Memejamkan mata, aku menangis dan berpikir untuk memilih egois, biarlah aku dianggap tak tahu diri atau tak tahu malu karena aku akan mendekat padamu suamiku, dan anakmu, anakku juga. Itu cara terakhir untukku berada disekitarmu, jika nanti caraku tetap tak membuatmu merangkulku maka akan kukabulkan permintaanmu, jika nanti caraku berbalik menyerangku membuatku menyerah atas dirimu maka aku akan pergi menjauh darimu, aku tak akan mengusikmu, aku akan diam untukmu.
Reyhan, aku bukan ibu kandungmu namun masih dapatkah aku menjadi ummimu. Jika anakku tak ingin bersamaku maka dapatkah aku menghubungimu sesaat untuk bertanya kabar. Aku tak memiliki anak, sudikah kau menjadi anakku. Jangan diamkan aku, jangan diamkan aku disaat aku tahu rasanya didiamkan anakku. Aku teringat akan sikapku pada ummiku dulu, mendiamkannya pernah kulakukan dan aku tak berpikir jika aku berada diposisinya, sekarang saat aku tahu rasanya maka dapatkah aku memperbaikinya agar kau mau bertutur kata padaku walaupun hanya satu kata.
Hari demi hari, aku mencoba mendekatimu anakku, bisakah kau bersikap rindu padaku. Kuberanikan diriku untuk masuk ke tepian jurang hanya demi melihatmu anakku, kuhiraukan ucapan atau tindakan ibu mertuaku ataupun suasana tak suka. Kuhiraukan itu hanya demi berucap sepatah kata untukmu ataupun membantumu. Hari demi hari, aku bertahan, anakku apa kau tak kasihan padaku. Jika tak ada rindu, masih adakah rasa belas kasihmu untukku. Hari demi hari, sudah berminggu-minggu setelah aku melihatmu tapi tak kunjung kau mendekat padaku. Sekali saja mendekatlah, sekali saja, maka aku akan menyerah atas mu. Sekali saja, aku berjanji, sekali saja mendekatlah anakku.
-*-
![](https://img.wattpad.com/cover/119842227-288-k468836.jpg)
YOU ARE READING
My Beloved, My Dear, How could you ...?
RomanceEgoisku dapat berupa sifat apatis. Namun sekali lagi tidak akan aku kabulkan, seharusnya dari awal kalian tidak mengajakku memiliki ikatan. Sekarang kalian meminta melepas, namun aku tidak ingin melepas, aku tidak peduli sikap kalian, aku memiliki c...