Suka duka

565 13 3
                                    

Sudah 5 tahun berlalu sejak aku menikah, bayi ini sudah menjadi balita berumur 3 tahun dan usiaku sudah berkepala tiga. Semua yang terjadi bagai angin lalu bagiku, baik dan buruk aku terima. Adik-adikku sudah beranjak dewasa, aktivitas keluarga kandungku benar-benar kurasakan sifat kedewasaan dari cara berpikir dan bertindak. Ini sempurna karena semua dapat ditangani dengan teratur dan baik. Namun tak kusangka kabar yang membuatku tak dapat kupercaya telah tersampaikan kepadaku. Bapak menantu mertuaku menghubungiku, mengabarkan berita duka kepadaku bahwa menantu mertuaku wafat karena penyakit yang dideritanya. Aku yang selama ini mengenalnya bahkan dibuat tak percaya karena penyakitnya itu. Perempuan setenang dia pandai terlihat sehat, hanya keluarganya yang tahu dan mungkin suamiku juga tahu. Yah itu sangatlah tiba-tiba karena minggu lalu saat bertemu keadaannya terlihat baik-baik saja. Kuasa Allah tidaklah manusia tahu. Tangisan mengiringi kepergiaannya. Anaknya meronta-ronta memanggil bundanya. Aku berduka, saat itu sifat asliku terlihat jelas, aku tidak bisa menyembunyikan datarku, duka sangat terasa di diriku, ada tangisan namun suaranya hanya dalam hati saja. Menantu mertuaku sudah seperti teman, baik pelajaran yang diajarkannya untukku. Kebaikannya tiada tanding, pahamnya tiada terkalahkan. Anak yang ditinggalkannya seolah tahu bahwa bundanya tidak akan bangun menyapanya lagi. Tangisannya berisi kesakitan yang amat terasa sakit jika didengar. Ayahnya yang berduka, menggendong dan memeluknya juga tak dapat merajuknya.

Proses pemakaman berlangsung khidmat, tangisan semua orang berirama sendu yang amat terasa dan diiringi tangisan anak yang ditinggalkan almarhumah. Satu persatu orang meninggalkan pemakaman, hanya tersisa keluarga almarhumah. Semua terlihat mengikhlaskan, saat akan kembali pulang dan mengadakan doa, anak yang ditinggalkan benar-benar tak mau berhenti menangis. Saat itu, proses pemakamam dilakukan pagi hari dilanjutkan dengan acara takziah sampai dengan hari esok. Karena hari kerja, keesokan hari setelah takziah aku memutuskan untuk pulang bekerja dan anak kecil masih belum reda tangisnya. Sungguh menyayat hati suara tangisnya.

Seminggu telah berlalu, hari ini aku akan ke rumah mertuaku. Minggu lalu benar-benar tidak terduga kepergian dan beban pekerjaan. Selama dalam perjalanan aku benar-benar mengistirahatkan pikiranku, ingin rasanya tiba di rumah dan melihat keadaan balita itu. Apakah sudah tenang keadaan?

Bagaimana nafsu makannya? Benar-benar membuatku ingin cepat melihat kondisinya.

-*-

Kulihat di pekarangan depan rumah terparkir banyak kendaraan yang artinya semua keluarga sedang di rumah, termasuk keluarga besan mertuaku. Kuputuskan untuk masuk lewat pintu belakang, setibanya di dalam rumah, asisten rumah tangga menyapaku dan membantu memindahkan barang bawaanku.

"Dimana reyhan, bi Inah?" tanyaku pada asisten rumah tangga. Reyhan, ya nama anak kecil itu Reyhan.

"Ada di kamar mas Zidan, mbak" kata bi Inah.

"Bi Inah, bisa bantu Saya, bawa Reyhan kesini ya bi. Saya mau lihat keadaannya". Bi Inah menyanggupi dan pergi melihat balita itu. Namun sayang, balita itu sedang tertidur. Aku mulai membantu pekerjaan rumah tangga setelah istirahat sejenak. Matahari sudah tenggelam, kudengar dari suara kamarku perkumpulan keluarga masih berlangsung setelah sholat maghrib dan makan malam.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, aku masih ingin melihat balita itu walau hanya sebentar. Sambil mencoba memejamkan mata, kudengar suara pintuku diketuk lalu kudengar ada yang memanggilku "ummi" dengan suara khas balita yang terdengar lemah. Aku langsung terbangun, kupakai kerudungku asal dan langsung ku buka pintu kamar. Dihadapanku balita yang ingin kulihat dan pria yang telah lama tidak aku pikirkan menatapku. Aku terdiam, entah ekspresi apa saat itu namun yang pasti aku merasakan perih di mataku serasa ada sedikit genangan disana. Aku tersadar dan menutup kembali pintu lalu membukanya kembali setelah berbusana tertutup. Yah beginilah sikapku selama ini setelah malam itu, auratku tidak kutunjukkan kepada siapapun termasuk pria yang menyandang status suamiku, yang dapat melihat aku tanpa kerudung adalah keluarga kandung dan teman perempuanku.

My Beloved, My Dear, How could you ...?Where stories live. Discover now