3 tahun telah berlalu, Rey kini sudah berusia 6 tahun. Tidak terasa, aktivitasku masih sama seperti dulu hanya saja sekarang aku mencoba mengurangi jadwal kerjaku. Ingin aku ada disetiap momen perkembangan Rey. Kali ini, benar-benar masa yang menyakitkan bagiku melihat Rey sering dirawat karena sakit. Sudah tak terhitung berapa kali dia perlu menginap di instansi kesehatan. Di dalam ruangan rawat inap, disinilah aku, dengan Rey sebagai pasiennya, dan keluarga sebagai penjenguknya. Tegang, sedih, mungkin sebagian ada yang takut merasa kehilangan lagi, begitupun aku. Mata kecil itu terbuka, mataku yang lelah menunggu mengukir sedikit kerutan disekitarnya. Aku mendekat dan mengusap kepalanya.
"ummi, ummi"
Sebutnya memanggilku setelah melihat diriku, terdiam, aku terdiam menggenggam tangannya. Kau bukan anak kandungku namun melihatmu dalam kondisi seperti ini membuatku merasa sakit. Tidak bisakah kau bagi lelahmu padaku. Anakku, aku sudah menganggapmu sebagai anakku. Maka bagilah rasa sakitmu padaku, ummimu.
"ummi, temenin rey ya minggu-minggu ini. Ummi libur dulu aja kerjanya, ya", pintanya manja untuk yang pertama kali. Aku tak tahu harus memberi jawab apa, tidak ingin aku menjanjikannya janji palsu dan tidak ingin juga aku menyampaikan kata tidak dapat memenuhi permintaannya.
"apa ada yang terasa sakit, rey? Rey makan ya, kalau nanti rey bisa BAB berarti rey bisa pulang, oke?" kataku pada anak itu. Dokter sudah menyampaikan bahwa rey dapat memakan makanan selain dari menu dapur rawat.
Satu hari, dua hari, dan kini aku harus pergi karena alasan pekerjaan.
"kamu akan pergi?"
Tanya seseorang kepadaku saat aku tengah merapihkan barang bawaanku. Ya, aku tengah mengemas di dalam kamarku tanpa memberitahu pada yang lain bahwa aku akan pergi. Egois? Jahat? Mungkin aku terlihat seperti itu, tapi aku mempunyai aktivitas lain selain di rumah mertuaku ini. Rey mungkin akan kecewa tapi anak itu tahu akan kegiatanku. Akupun akan bingung, harus bagaimana jika aku berada di rumah ini dalam waktu lama. Aku berhenti mengemas dan menghadap ke pemilik suara, dia yang sudah ada di dalam kamarku, menatapku tajam, marah? Ya itu adalah tatapan marah, untuk pertama kalinya dia memperlihatkan tatapan itu padaku. Aku tahu kenapa dia marah, aku bisa menebak. Marah karena anaknya terlihat lemah dan meminta umminya untuk tinggal, namun ummi yang diharapkannya diam-diam berencana pergi untuk aktivitasnya.
"tidak bisakah kamu tinggal dan menemani reyhan. Kamu umminya bukan? Atau kamu sudah tak ingin menjadi umminya"
"kalau seperti ini bukankah lebih baik untuk tidak datang ke rumah ini lagi dan tidak menemui reyhan. Bukankah lebih baik begitu? Nasya, aku minta maaf untuk semua hal yang selama ini terjadi, tapi tahukah kamu bahwa ada kebaikan jika kamu tidak egois seperti ini" aku mendengar, kata-katanya tersirat mengandung makna lain, sudah kali keberapa aku mendengar bahasan itu selama aku tinggal di rumah ini. Aku melankolis, yang terlihat baik-baik saja dan tidak menampakkan ekspresi apapun namun dikala aku sendiri aku dapat menangis dalam diam dalam mata terpejam karena hal yang menyakitkan.
"aku memiliki pekerjaan yang tak bisa ditinggal. Rey pasti mengerti kenapa umminya pergi" itulah jawabku.
"lebih baik kita bercerai, pernikahan yang kamu harapkan bukan seperti ini, bukan?"
Aku tak dapat membayangkan seperti apa pernikahan harapan itu. Suamiku, apa yang sedang kau lakukan dengan bertanya tentang harapan, dalam pikirmu harapan seperti apa yang kau inginkan. Suamiku, kau benar-benar tak dapat aku pahami lagi.
-*-
YOU ARE READING
My Beloved, My Dear, How could you ...?
RomanceEgoisku dapat berupa sifat apatis. Namun sekali lagi tidak akan aku kabulkan, seharusnya dari awal kalian tidak mengajakku memiliki ikatan. Sekarang kalian meminta melepas, namun aku tidak ingin melepas, aku tidak peduli sikap kalian, aku memiliki c...