"Ibu Na, maaf ini siapa?" tegur beberapa guru yang kebetulan berdiri dekat denganku. Aku terdiam sesaat dan kujawab dengan suasana tenang bahwa pria yang memanggilku adalah suamiku. Ya aku ragu ingin menjawab namun kenyataannya dia memang suamiku. Suamiku menghampiriku, tersenyum menyapa beberapa guru disampingku.
"Assalamu'alaikum, maaf saya mengganggu kegiatan sekolah tapi ada hal yang perlu saya bicarakan dengan istri saya" kata suamiku pada beberapa guru disampingku.
"oh, tentu, silahkan kami mengizinkan. Sungguh ini moment langka melihat suami ibu Na untuk pertama kalinya. Ibu Na, sangat banyak membantu kegiatan sekolah, kami mengucapkan terima kasih juga karena suaminya mengizinkannya aktif dalam bekerja sampai membolehkannya tinggal untuk kegiatan sekolah. Terima kasih." Ucap salah satu guru yang didukung dengan anggukan dan komentar sama oleh guru lainnya. Ya, selama ini aku tinggal di lingkungan sekolah, mengikuti aktivitas tambahan diluar jam belajar formal, membantu aktivitas sekolah yang juga tempat tinggal siswa yang berstatus santri.
-*-
Aku mendapatkan izin untuk tidak mengikuti aktivitas tambahan diluar jam formal karena suamiku. Kini aku sedang menaiki motor dengan suami, duduk diam disampingnya untuk pertama kalinya setelah 7 tahun waktu berlalu. Dia mengajakku ke masjid besar kota tempatku bekerja, berhenti sejenak untuk melakukan kewajibannya sebagai makhluk Sang Pencipta, begitupun aku. Setelahnya, dia menuntunku duduk disekitaran taman masjid.
"apa kamu tahu hal yang ingin kubicarakan?" tanyanya menatap langsung kedalam mataku, aku diam menatapnya. Dimataku, terlihat sosok yang dulu ku kenal dan sosok yang tak ku kenal. Matanya masih terlihat mengakuiku sebagai istri namun wajahnya tak terlihat memancarkan rindu ataupun ekpresi datar. Aku menatapnya berharap dan tak berharap.
"mari kita akhiri saja ikatan ini, akan baik buatmu untuk memulai segalanya dari awal" itulah kata yang terucap darinya. Itulah solusi darinya untukku, terdengar pesimis namun terlihat optimis. Aku terbiasa mendengar saran ini dari keluarganya namun secara empat mata dia mengatakannya langsung, membuatku tak tahu harus bereaksi bagaimana atas ucapan dan tindakannya ini.
"jangan temui Reyhan lagi, dia bukan anak kandungmu, jangan beri perhatian lebih padanya, jangan buat dia menganggap bahwa kau ibunya." Katanya padaku.
"sudah kukatakan kemarin, bukan? Lalu mengapa kau tak indahkan, jangan buat Rey tergantung padamu, aku mohon padamu. Apa kau mengabulkan permintaanku, Na?"
"apa kau sungguh-sungguh mengatakannya?" tanyaku
"ya, demi kebaikan kau dan demi kebaikan Rey, aku sungguh-sungguh mengatakannya" jawab suamiku
"tak bisakah kita membangun kembali? Aku dapat bertahan" kataku menatapnya, kilau terlihat disekitar penglihatanku, kaku terasa di bibirku.
"apa kau tak merindukanku? Apa kau tak ingat janjimu? Aku mencintaimu dan kuusahakan untuk tetap begitu. Kamu suamiku. Suamiku, mengapa kau ingin menjauh dariku. Mengapa kau tak merangkulku. Tidak ingatkah kata-kata manismu dulu, salahku apa sehingga kau seperti ini?" ucapku padanya. Air mataku tak dapat kutahan lagi, tegarku tak dapat kutahan lagi, biarlah didepannya saat ini rapuhku terlihat.
"aku tak berbuat salah, aku usahakan untuk tak membuat salah. Apa karena keluargaku, apa karena ummi? bukankah kau menerima semua kekuranganku saat mengikatku. Apa karena ibuku?"
"Suamiku, apa aku masih menjadi temanmu? Kemarin kau bertanya pernikahan seperti apa yang aku harapkan. Aku sudah tak dapat membayangkan seperti apa pernikahan harapan itu. Suamiku, apa yang kau inginkan dengan bertanya tentang harapan, dalam pikirmu harapan seperti apa yang kau inginkan. Suamiku, kau benar-benar tak dapat aku pahami lagi."
"Zidan, pernahkah kau membayangkan berada pada posisiku, kau ingin bertahan namun pasanganmu ingin melepas. Apa yang akan kau lakukan? Tetap bertahan atau melepas? Mendekat atau menjauh?"
"aku masih berpikir rasional, aku masih berpikir logis, tapi kamu tahu sifat perempuan bukan? Perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya, tapi aku memilih untuk logis. Tidak bisakah kau berpikir logis juga?"
Panjang lebar kuutarakan bebanku namun seperti kau tidak ingin bertahan, kau tidak ingin mendekat. Diammu membuatku marah. Diammu membuat airmata terbuang untuk kesekian kalinya. Aku mencintaimu dan masih mencintaimu namun sekarang kau membuatku membencimu. Kau membuatku membencimu karena masih mencintaimu.
"Suamiku, apakah kau tak mengingat janjimu saat mengikatku? apakah kau tak memiliki rasa untukku?
Suamiku, tak bisakah kita tetap terikat walau hubungan kita seperti ini, kosong tak mendekat ataupun tak menjauh. Kamu benar-benar terasa asing bagiku, apa kau menganggapku asing sehingga berlaku seperti ini. Kemana sifat dan sikapmu dulu yang merindu dan ingin dirindu. Harus bagaimana aku bereaksi atas ucapmu"
"Na, jangan seperti ini, akan lebih baik kalau kamu memulai segalanya dari awal, aku masih menganggapmu sebagai teman" itulah jawabnya atas ucapanku.
"kalau begitu, kita mulai dari awal, aku tidak ingin mempunyai sejarah perpisahan dan aku tidak ingin menikah untuk kali kedua, cukup sekali. Cukup sekali aku menikah, Zidan. Bisakah kau mengabulkannya? Hmm, bisakah?" kataku
"kalau begitu sekarang bisakah kau kembali ke rumah dan temani Reyhan" katanya
"aku akan pulang diakhir pekan, aku-"
"aku bilang sekarang, bukan nanti diakhir pekan. Kamu memintaku untuk tidak melepas tapi kamu tidak mengindahkan permintaanku"
"bukan begitu maksudku, aku akan mencari waktu yang tepat tapi bukan sekarang-"
"cukup, jika itu yang kamu mau, baiklah, itu berarti kamu juga harus mengabulkan permintaanku, kita akan berpisah"
Mendung atau cerah, tak tahu aku melihat hari itu seperti apa, diam dan menangis, aku hanya bisa menangis dalam diam. Zidan mengatakan keputusannya, diapun mengatakan bahwa akan mudah baginya untuk merangkulku kembali jika sekarang aku ikut dengannya. Namun aku masih memiliki amanah disini, di tempatku bekerja. Dia membuatku tak bisa memilih waktu ataupun memberi keringan waktu untukku menyesuaikan diri.
Positif. Nasya, kau perlu berpikir positif, pasti ada jalan. Berhentilah menangis, berhentilah meratapi. Setelah lama terdiam, akupun beranjak dari taman. Kulangkahkan kaki, lemas rasanya tapi kutetap melangkah.
"apa kau akan ikut denganku sekarang?"
Langkahku terhenti mendengar ucapan seseorang, membuatku berhenti dan menatapnya. Yah, Zidan, suamiku, ternyata dia masih disekitarku, aku melihatnya pergi namun ternyata dia mengamatiku. Aku kembali menangis dalam diam. Apa dia sedang mengujiku? kami saling menatap, aku menatapnya meminta pengertian, dan dia menatapku seolah memastikan sesuatu.
"aku akan pulang diakhir pekan" itulah keputusanku.
Kulihat Zidan terdiam dan tidak menanggapi ucapanku, aku kembali berucap meminta waktu untukku menyesuaikan diri namun dia tetap diam.
"bersihkan mukamu, aku akan antar kau pulang ke asrama" itulah kata terakhir yang diucapnya.
-*-

YOU ARE READING
My Beloved, My Dear, How could you ...?
RomanceEgoisku dapat berupa sifat apatis. Namun sekali lagi tidak akan aku kabulkan, seharusnya dari awal kalian tidak mengajakku memiliki ikatan. Sekarang kalian meminta melepas, namun aku tidak ingin melepas, aku tidak peduli sikap kalian, aku memiliki c...