Menantimu, sungguh membuatku runtuh

319 9 1
                                    

Aku tak tahu harus bagaimana, sudah lebih dari dua minggu aku berada di rumah mertuaku. Dua hari setelah Zidan datang menemuiku di sekolah, aku memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai pendidik. Semua orang terkejut karena pengunduran diriku yang mendadak, aku memberi alasan bahwa aku ingin menjaga anakku 24 jam, aku ingin sepenuhnya menjadi seorang ibu. Semua rekan kerjaku menghargai keputusanku, pimpinan sekolah mengizinkan pengunduran diriku. Alhamdulillah, aku tak perlu menunggu sampai mendapatkan guru pengganti untuk tugasku karena sudah ada rekan kerjaku yang mau dan bersedia menggantikanku. Dua hari, kugunakan untuk memberikan arahan tentang tugas yang kutinggalkan dan untuk menyampaikan ucapan perpisahan. Tepat satu hari sebelum akhir pekan, semua amanah dan beban telah kuselesaikan, akupun pamit untuk memulai hidup baruku. Selama perjalanan, aku menghubungi keluargaku, adik-adikku bahwa aku tak dapat berkunjung dan mereka memaklumi. Aku juga mencoba menghubungi bi Inah namun tak mendapatkan respon. Cemas, itulah yang kurasakan. Aku ingin bertemu Rey, ingin tahu dia sedang melakukan apa.

Sesampainya di rumah mertuaku, seperti biasa aku melihat keluarga berkumpul diakhir pekan. Aku melangkah, mengucap salam, dan masuk melalui pintu belakang. Kulihat bi Inah sedang melakukan tugasnya, aku menyapanya dan melihat dia terkejut, entah apa tapi kurasakan kalau bi Inah terkejut karena takut dan heran menatapku.

"ada apa, bi Inah? Kok terkejut begitu" tanyaku pada bi Inah.

"mbak Na, kok ada di sini? Mas Zidan bilang kalau mbak ngga akan ke sini lagi." Jawab bi Inah yang mengejutkanku, dia berkata tidak tahu saat aku bertanya alasannya. Bingung namun prasangkaku muncul. Kuberanikan masuk ke dalam rumah, ingin bertemu Reyhan dan bertanya maksud Zidan.

"Assalamu'alaikum" sapaku pada semua orang yang ada di ruang keluarga. Kulihat Reyhan tidak ada di sana, begitupun Zidan.

"sedang apa kamu disini?" Tanya ibu mertuaku. Sudah lama aku tak melihatnya, rasanya seperti sudah lama. Kulihat dan kurasakan tatapan acuh untukku serta beberapa menjawab salamku dengan suara pelan.

"saya ingin bertemu Reyhan dan Zidan, bu" kataku pada ibu mertuaku. Dia menjawabku dengan tatapan benci dan tak suka.

"buat apa bertemu mereka? Kamu sudah bukan lagi istri Zidan ataupun bukan ibu kandung Reyhan. Berani-beraninya punya nyali berada di sini?" ucap ibu mertua.

"apa maksudnya? Saya masih istri dari anak ibu dan ya memang saya bukan ibu kandung Reyhan" jawabku

"beraninya kamu menjawab kata-kata saya, sepertinya surat itu belum sampai ke tangan kamu. Dengar! Kalian akan segera berpisah jadi tak usah kau datang ke rumah ini lagi, aku bahkan tak menganggapmu menantuku, sepertinya kamu benar-benar tak punya malu ya!" ucap ibu mertuaku. Surat, jangan katakan bahwa aku akan menerima surat perpisahan.

"apa maksud ibu, surat apa bu?"

"surat perpisahan, yang baru saja dibuat ulang, Zidan sudah menandatanganinya, dan seharusnya sudah kau terima."

"mas Zidan ada dimana bu? Saya perlu bicara dengannya."

"huuh, lama-lama saya bisa darah tinggi kalau berbicara denganmu. Anak saya, Zidan, sedang menemui calon mertuanya, aku berharap dia menemukan pasangan yang sesuai. Sekarang kamu mengerti? Pergilah, pergi dari hadapanku sekarang juga." Bentak ibu mertuaku. Aku terpaku, diam, dan ibu mertuaku gerah melihatku, didorongnya aku agar hilang dari hadapannya, kudengar beberapa keluarga menenangkan dan membantuku berdiri. Langkahku gontai, aku menuju kamar, kurasakan bi Inah membantuku melangkah. Air mataku sedikit keluar, pusing, itu yang kurasakan, lelah, aku ingin memejamkan mataku sejenak namun aku harus menemui mas Zidan, aku ingin menemui Reyhan.

-*-

My Beloved, My Dear, How could you ...?Where stories live. Discover now