Aku, Juang, Pemuda -shineyma

397 14 2
                                    

Aku, Juang, Pemuda
Oleh: shineyma

Gelap gulita.

Pupil mataku mencoba beradaptasi dengan kegelapan di sini. Menggerjap-gerjap tak membuahkan hasil.

Sedetik kemudian aku sudah berada di lapisan es. Hawa dingin menusuk pori-pori tubuhku mengakibatkan sekujur badanku menggigil, bibir bergetar, jemari memucat.

Mataku memandang sekitar sebagai pengalihat. Gunung berlapis es berdiri gagah disepanjang mata memandang. Pepohonan berlapis salju pun tertanam di gundukan salju sekitarku. Es yang mencair menetes dari dedaunan di pohon.

Aku melangkahkan kaki dengan susah payah walau sepatu boots sudah membungkus kaki gemetar yang menancap di permukaan es. Mantel tebal yang tiba-tiba melilit tubuhku tak berpengaruh besar karena tubuhku menggigil semakin parah. Kakiku terhenti di depan retakan es yang membentuk kolam yang semakin melebar karena retakan es bertambah. Diameternya melebar hingga aku hampir terjerembah ke dalam air kolam es bila keseimbangan hilang. Perlahan aku mundur menjauhi retakan.

Tanganku mendadak hangat. Tautan jemari pada jemariku yang menggenggam ini berhasil menjalarkan hawa hangat. Seorang pemuda dengan wajah dilingkupi cahaya adalah pelakunya. Pemuda ini menuntunku untuk jalan beriringan dengannya. Api unggun berkobar di tepi kolam sepanjang perjalanan kami.

Kami hendak mendaki gunung berlapis es. Tinggi gunung tak kuketahui, tapi kutahu gunung ini teramat tinggi, bahkan puncaknya tak terlihat, tertutup kabut. Mulanya kami mendaki bukit es yang curam. Dia mendahuluiku untuk meraih tubuhku supaya berada di pijakan yang sama. Tidak jarang aku gagal menggapai tangannya, maka bergelantungan aku di ambang jurang. Beruntungnya karena ia segera meraih dan memelukku. Begitu terus tanpa bosan ia melakukannya.

Belum sampai kami ke puncak gunung, sekitarku kembali gelap gulita. Mata ini kembali beradaptasi. Tanganku menggenggam udara.

Saat cahaya di sekitar kembali normal. Maksudku lebih baik...tidak juga karena sekarang semua menjadi remang-remang. Terasa seperti serba abu-abu, kelabu.

Nafasku sontak tersengal-sengal padahal aku sedang berdiri tak melakukan apapun. Sinyal awas mendadak bangkit dari dalam diriku. Kakiku berlari hasil dari perintah otak yang tidak sinkron dengan tubuh ini. Tiap dua detik, aku menengok ke belakang, mengecek sesuatu yang mengerjarku tanpa wujud.

Letihnya bukan main karena aku berlarian di tanah berbukit yang tak rata. Naik dan turun, gundukannya tak berwujud simetris. Belum lagi ditambah bebatuan yang tiba-tiba menghalangi aku berlari.

Bukan hanya sekali kakiku kebas lalu terjengkal batu. Jejas. Sakitnya hingga tak terasa lagi, mati rasa. Bahkan darah yang keluar tak lagi berwarna merah terang, melainkan kehitaman antara merah yang terlalu tua sehingga kehitaman.

Aku berlari memasuki sebuah rumah. Keadaan rumah selayaknya kapal pecah nan porak-poranda. Tak ada penghuni, hanya ada barang berserakan di lantai kayu. Pengap dan lembab.

Sesuatu yang mengejarku masih belum nampak maka aku kembali awas. Namun kakiku tak mau rehat. Peluh bercucuran kusibak kasar dari wajah bercampur debu, tanah dan darah kering. Kaki ini terus kupacu untuk berlari meski tak lagi berasa.

Dungu. Tak ada yang mengejar tapi aku tak kunjung berhenti.

Berhentinya kakiku tatkala aku menabrak seorang pemuda. Tinggiku kurang dari bahunya padahal 157 sentimeter tinggiku. Wajahnya masih dilingkupi cahaya. Bahkan dia segera menggenggam jemariku, lagi. Ritme jantungku sungguh tak karuan. Bukan, ini bukan karena efek berlari tapi lebih daripada itu. Bahagia setelah menemukannya.

Tangannya menghentak yang membawaku ke belakang rumah kosong. Jemarinya yang lain membekap mulutku dengan lembut. Dengan jarak yang tipis, aku harusnya dapat merasakan deru nafasnya yang tak beraturan sepertiku, tapi ini tidak. Ia terlalu hening.

Belum sempat aku mencerna keanehan ini, ia mengikis jarak. Tatapannya lekat memandangiku tanpa berpaling. Hidung kami bersentuhan. Filtrum kami mulai melekat. Lembutnya bibir bervolume miliknya mengecap bibir kecilku. Terbuai hingga memejamkan mata.

Kegelapan kembali membelenggu. Lagi dan lagi mataku harus beradaptasi.

Saat semua terlihat normal, ini sungguh normal. Aku berada di kamarku. Tempat tidur bertingkat yang menjadi tempatku rebah, dinding bercat hijau bercampur putih, lampu remang, kipas gantung di atas lemari--sungguh aku kembali. Tetapi tidak sendirian.

Pemuda ini berdiri di samping kasurku. Kami bersitatap.

Dia mendekatiku. Tangannya membelai suraiku, begitupun tanganku ikut menari melilit rambutnya. Aku menarik kepala untuk mendekat. Rebahan ia di sampingku dengan tangan kanan menumpu tubuh dan tangan kiri memainkan rambutku. Perlahan tangannya menyusuri wajahku, menggurat setiap sudut wajah ini--alis, turun ke pangkal hidung, berlanjut meliuk di filtrum, membentuk huruf m di bibir, berseluncur di dagu--naiklah ritme jantungku. Sungguh aku jengah.

Ditatapnya mataku lebih dalam. Bagaikan menyelami hatiku ia lekat-lekat masuk ke mataku.

Tangan kirinya kembali beraksi. Ia menyentuh pelipis bagian sela antara kedua alisku. Mengelus-elus sisi tersebut perlahan-lahan. Aku rapatkan tubuh padanya lalu bersadar di dadanya. Sebelum lebih jauh bersemayam dalam dadanya, kukecup bibirnya. Terpanggilan rasa kantukku sesudahnya.

×-×-×

Alaram menghentak kesadaranku. Terpaksa kubuka mata dan lepas dari jerat mimpi. Tunggu...

Mimpi, itu hanyalah mimpi. Sialan! Aku sudah mendamba lembutnya bibirnya namun hanyalah mimpi.

Mengapa bisa sentuhannya sungguh terasa nyata?

"Suruh kakakmu bangun!" teriakan mama pada adikku menggema dari luar.

"Udah dibangunkan tapi ga mau bangun," balas adikku yang berdiri di dekat meja belajarku. Dia memandangiku dengan kesal.

Apa ini? Jelas dia melihatku bangun tapi ia katakan aku masih tidur. Fitnah.

"Gue udah bangun loh," sergahku tak terima.

Segera aku turun dari tempat tidur. Anak tangga berjumlah lima harusnya aku turuni. Loncat, tanpa menuruni tangga itu kebiasaanku. Namun saat ini, belum sempat loncat ke lantai, gelap membelenggu.

Banyak orang yang berkelahi di jalan raya. Tak ada kendaraan berlalu-lalang membuat orang-orang leluasa saling balas baku hantam. Seorang pemuda terpaksa melawan pemuda-pemuda berjubah hitam dengan tombak besi karena ia dikepung. Perkelahian tak sebanding.

Wajahnya dipenuhi luka. Rambutnya acak-acakan. Baju terlepas, menyisakan dada tanpa sehelai benang.

Mata kelam itu bersitatap dengan mataku. Perasaan bergelonjak dalam hati--percampuran rindu, bahagia, pilu. Aku paham artinya meskipun tak mampu menjelaskan dengan lisan.

Rahangnya yang kokoh semakin mengeras tatkala ujung tombak menyayat bahunya. Ia tidak meringis. Justrus mengucapkan sepatah kata, "Bangun!" teriaknya padaku dengan parau. Tangannya mengayun lemah--mengusir--simbolis saja.

Bukannya menurut, aku melakukan kebalikkannya. Langkahku mantap, mendekatinya. Berjongkok aku di depannya yang berlumur darah dan lebam.

"Lari...bangun dari tidurmu!"

×-×-×

Air mataku menetes deras. Deru nafas yang keluar bersautan tarikkan nafas. Bantal guling di sebelah aku genggam teramat erat. Kepiluan menyelinap hingga dasar hati. Ada kesedihan yang tak kumemgerti sedang menggerogotiku semakin ganas.

Itu bukan mimpi pertama, tetapi hatiku terus sakit selama mengalaminya. Berulang-ulang kejadian yang menimpaku. Tidur lalu bermimpi kemudian bangun dalam mimpi, sesudah mengalami hal memilukan dengan pemuda itu aku bangun dalam kenyataan.

Meskipun sudah bangun, aku tahu ini belum berakhir. Perjuanganku akan berlanjut untuk berkelana di dalam mimpi atau bawah sadar. Kisahku belum tuntas dengannya. Atau bahkan sebenarnya belum dimulai.

Akan tiba waktunya aku harus menuntaskan perjuanganku. Entah hidup ataupun bermimpi. Demi bersama pemuda itu.

Perjuangan Nasionalisme di PPJITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang