HIKAYAT
Oleh: syuhaarfah
Pagi hari yang mendung menghiasi langit. Kali ini warnanya berbeda dengan warna bajuku, di atas sana berlangit abu – abu. Udaranya sejuk nan dingin terhirup memasuki paru-paruku. Diriku yang terduduk di atas kursi taman belakang gedung putih memilih untuk tetap tersenyum menerima perubahan cuaca. Memang tidak akan turun hujan, tapi tidak bisakah suasana lingkungan yang cerah turut menghiasi detik – detik kenikmatanku tentang hari spesial ini?
Maaf atas keluhanku tadi. Aku spontan memandang sekeliling, tak ada yang berlalu lalang, hanya ada aku dan rambut pepohonan rindang di sekitar taman yang berayun akibat dibelai angin pagi. Gedung putih yang menjadi tempat tinggalku bahkan tak mengeluarkan suara. Ataukah memang aku yang tak menyadari dan sadar bahwa memang dari dulu tidak ada suara apapun!
Udara yang terus – menerus kuhirup mulai terasa sesak. Tapi otakku ini tetap saja memerintah untuk berjuang bernafas tanpa batas. Rasa sakit di dada pun mulai mekar. Tubuhku hanya bisa pasrah menerima keadaan ini. Tak ada pemberontak jiwa, tak ada aduan berlaga. Dengan patuhnya diriku menerima paksaan kepalaku yang menyuruh, "pompalah paru – parumu untuk detik raga yang tersisa." Apakah aku terlalu bodoh? Seratus persen aku katakan tidak.
Aku ingin bebas menghirup udara sesuka hati, apalagi mendengar suara indah dari banyak objek bergerak. Namun semua tak sesuai harapan, sedih? Tentu saja benar – benar sedih.
Diriku menolak menerima semuanya, lagi – lagi harus minum ini, lagi – lagi harus makan itu. Bosan, jenuh, miris, hingga terpuruk. Selalu saja dilarang melakukan aktifitas keras yang bisa memacu organ – organku bekerja lebih dari biasanya. Aku akhirnya mengurung diri di kamar, menangis sejadi – jadinya tanpa menghiraukan siapapun.
Aku tahu orang – orang di sekitarku menatapku rapuh, tak bisa apa – apa. Kesal sekali mengetahuinya. Apakah mereka tidak sadar bahwa sikap mereka itu sangat menyinggung perasaanku! Tahu apa yang aku rasakan sekarang? Ingin sekali kutertawa mengejek perilaku bodoh mereka itu, melihat mereka terkejut, dan mendengar mereka meminta maaf kepadaku.
Lihat apa yang diriku dapat, aku malah dimasukan ke sebuah gedung putih akibat keluh tangisku. Harapan yang indah pupus sudah. Terakhir kali aku mendapati diriku terkapar di atas benda lembut, selang di tangan kananku, dan sebuah masker penutup mulut dan hidungku. Udara hangat terasa mengelilingiku di saat itu. Hatiku terlukai terlalu dalam meratapi nasip.
Semenjak hari itu, aku memutuskan untuk tinggal di gedung putih ini saja dan tak ingin kembali ke rumah lama. Pikiranku bergejolak menasehatiku untuk melakukan perubahan dan menerima segala kondisiku. Hatiku bahkan berdegup kencang, ia menegur tegas, mengingatkan bahwa waktuku sudah cukup. Tak perlu lagi ada gunda gulana yang tersesat oleh luka hati.
Teguran yang kudapat hanyalah sisa – sisa perjuangan hidupku hingga menjelang hari spesial ini, hari dimana para pejuang sesungguhnya mendapatkan kebebasan negara. Ya, inilah hari Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, hanya saja sekarang adalah tahun 2017.
Orang terdahulu telah jaya memberikan hak gratis kebebasan untuk kita para generasi muda. Dan aku pun tak akan menyia – nyiakan hal itu. Dari situlah aku tersadar bahwa ketidak normalanku bukanlah pagar yang membentengi diriku untuk berimaginasi. Menerima, itulah pilihanku. Menjadi merdeka untuk diri sendiri tentu saja. Sambil mengikuti para pejuang tersebut dengan sisa napasku, kusampaikan pesan ini bahwa...
Orang bisu tahu berbicara
Orang buta bisa melihat
Orang tuli mampu mendengar
Orang cacat berani bergerak
...***
"Wow... apa itu cerita baru yang Ayah buat?" tanya seorang anak kepada ayahnya.
"Ayah tidak tahu itu sebuah cerita atau bukan, tapi semua itu adalah gambaran dari kisah seorang gadis lugu yang ayah temui sebelum menjenguk nenekmu di rumah sakit tadi pagi."
"Seorang gadis?" anak tersebut tampak bingung penasaran.
Di ruang tamu sebuah rumah, terlihat seorang anak dan ayahnya sedang bercengkrama di dekat penghangat ruangan zaman dulu. Yaitu menggunakan kayu bakar yang asapnya keluar melalui cerobong atap. Udara malam hari memang selalu dingin. Sang Ayah lalu mulai bercerita lagi tentang asal mula pesan cinta tersebut.
Flashback on
Seorang pria berumur sedang berjalan memasuki rumah sakit setelah memarkirkan mobilnya. Langkahnya seketika berhenti ketika tak sengaja memandang seorang gadis muda yang sedang terduduk di sebuah kursi taman belakang rumah sakit. Ia heran kenapa seorang pasien dibiarkan sendirian tanpa pengawasan. Seorang suster yang lewat kemudian ditegurnya.
"Bapak tidak perlu khawatir, gadis itu memang sengaja tidak diawasi karena dia sudah lama tinggal di sini." Kata suster tersebut.
"Bagaimana kalau nanti dia kabur?" tanya pria itu.
"Gadis itu tidak akan kabur karena memang tidak bisa kabur." Pria tersebut berhasil dibuat heran. Suster yang diajaknya mengobrol malah tersenyum.
"Nama gadis itu adalah Sonia. Sudah 8 tahun dia menjadi pasien kami. Saya bahkan turut sedih melihat kondisinya." Lanjutnya.
"Apa gadis itu sakit keras?" Balasan anggukan sontak diterima oleh pria itu.
"Dia cacat sejak lahir. Tidak bisa melihat, mendengar, dan berbicara. Bahkan dia juga terkena penyakit ISPA. Sungguh malang nasip gadis itu."
**ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)
"Anda seorang suster pasti pernah melakukan sumpah untuk menjaga kerahasiaan setiap pasien. Tapi kenapa anda malah menceritakan hal tersebut kepada saya? Apa anda tidak takut kalau nanti anda akan dipecat!" Ujar pria tersebut.
"Semua orang yang mengenal Sonia sudah tahu tentang kondisinya, baik pegawai maupun orang – orang yang sering berobat ke sini. Jika nanti tersebar hingga ke telinga atasan, saya tetap tidak akan dipecat." Pria berumur itu pun paham.
Dari kejauhan, tampak Sonia tengah bangkit dari tempat duduknya. Ada senyum mengembang dari wajahnya. Ia bahagia berlari – lari kecil sambil melompat menangkap sesuatu. Hap hap... itulah yang terlintas dari gerakan bibirnya tanpa bersuara. Ia terjatuh namun kembali berdiri dan meneruskan tangkapannya. Langkah gadis itu pun semakin mendekat ke arah tembok pembatas.
"SONIA... AWAS." Teriak pria tersebut ketakutan.
Langkah Sonia sontak terhenti. Senyumnya kembali mengembang, dari arah yang berbeda gadis itu lagi – lagi berlari – lari kecil dan melompat menangkap sesuatu. Pria tersebut akhirnya mulai tenang.
"Apa Bapak berpikir kalau teriakan tadi membuatnya berhenti?" tanya suster itu.
Pria tersebut terdiam, ia tersadar kalau tegurannya tidak mungkin akan terdengar oleh Sonia. Suster yang sebelumnya diajaknya berbicara lalu berpamitan, pria itu kemudian mempersilahkan. Tiba – tiba...
Saat berpaling, mata pria tersebut terbelalak kaget. Betapa terkejutnya ia mendapati Sonia sedang berdiri tepat di hadapannya. Gadis itu tersenyum kepadanya dan tertawa kecil meskipun tak bersuara. Dari atas rambutnya hinggaplah seekor kupu-kupu bersayap biru yang cantik. Ketika kembali terbang, Sonia juga ikut berlari – lari kecil mengikutinya.
Flashback off
Cerita tersebut membuat si Anak menjadi bertanya – tanya. Bukan bermaksud menghina, tetapi bagaimana bisa gadis yang bernama Sonia itu bermain dengan suka cita dengan kondisi tiga panca indranya abnormal!
"Semua yang ingin kamu temukan jawabannya ada pada pesan dari si Gadis." Ucap Ayah sambil tersenyum.
Karena kemampuan yang muncul dibalik kecacatan tubuh berawal dari getaran hati yang tegar, hingga mampu membuat alam berpihak padanya.
"Jadi anakku, apa yang bisa kamu pelajari dari kisah ini?"
"Bahwa kekurangan bukan menjadi penghalang untuk menggapai cita – cita. Seperti hari kemerdekaan ini, kita menikmati kedamaian berkat usaha pejuang walaupun tanpa senjata. Dan gadis itu berani mengekspresikan dunianya dengan caranya sendiri." Jawab anak tesebut.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjuangan Nasionalisme di PPJI
Short StoryDirgahayu Republik Indonesia ke-72 dari segenap Alien PPJI