Fa(t)bulous

31 3 0
                                    

Fa(t)bulous
Oleh: quraqura

Kata mereka cantik itu harus berkulit putih atau setidaknya kuning langsat. Kata mereka cantik itu harus punya mata yang bulat. Kata mereka cantik itu harus tinggi. Dan kata mereka, hal yang paling dasar untuk menjadi cantik adalah tubuh yang langsing!

Kalau apa yang mereka katakan itu benar adanya, artinya aku adalah perempuan yang tidak cantik karena dasarnya saja aku tidak punya.

Terlahir dari keluarga yang punya berat badan di atas rata-rata bukanlah keinginanku. Berat badan ibuku 76kg, ayahku 81kg, adikku yang baru berusia 12 tahun 45kg, dan aku sendiri 74kg.

Dari kecil berat badanku selalu diatas rata-rata temanku tapi hal itu sama sekali tidak memengaruhi apa-apa, masa kecilku bisa dibilang bahagia. Waktu kecil aku selalu main sampai ibu menarikku dengan paksa untuk mandi sore dan pada akhirnya aku selalu menangis karena masih ingin main petak umpat atau loncat tinggi dengan teman-temanku.

Tapi waktu terus berjalan meskipun kau tidak menginginkannya. Kini aku sudah remaja, tepatnya berumur 17 tahun. Menjadi salah satu dari tiga orang yang berada di peringkat teratas sekolah di bidang akademik, mempunyai geng cewek ala-ala, dan merasakan yang semua anak remaja rasakan, naksir kakak kelas.
Sayangnya yang terakhir itu tidak berjalan mulus karena badanku yang tidak langsing.

Entah sudah keberapa kalinya aku memandang diriku di depan kaca berukuran lebar setengah meter dan panjang satu meter itu, mengecek bagaimana kelihatannya badanku keseluruhan. Memang terdapat beberapa lipatan lemak di bagian perut.

"Kamu nggak ngaca ya? Badan segede gentong gitu mimpi dilirik sama ketua osis!"

Kata-kata dari kakak kelas tadi pagi masih saja terngiang-ngiang di dalam pikiranku.

Apa salahnya kalau aku menyukai Kak Evan? Toh aku juga nggak nuntut apa-apa. Kenapa juga kakak kelas tadi pagi sewot banget dan mereka dapet info dari mana sih kalau aku suka sama Kak Evan?

"Dinda makan!" panggil Ibu dari arah dapur, sontak saja panggilan itu membuatku menghentikan kegiatan mengamati tubuh gemukku itu.

"Tumben harus ibu panggil dulu, kamu lagi ngapain sih di kamar?" tanya ibu sedetik setelah aku duduk di hadapannya.

"Nggak lagi apa-apa kok bu," jawabku.

Aku tidak mau berbagi masalah ini dengan siapapun apalagi ibuku, aku tidak mau mengeluh padanya. Ibu pasti akan sangat sedih kalau mengetahui aku sedikit mempermasalahkan ukuran tubuhku ini.

"Ibu, Dani ingin pahanya!" teriak Dani semangat yang langsung diladeni ibu.

Aku tersenyum melihat Dani yang masih kecil itu, dulu waktu seusianya aku juga seperti dia. Sangat semangat bila saatnya makan tiba.

"Kamu mau pahanya juga?" tanya ibu.

"Nggak bu, Dinda mau makan sama sayur aja," jawabku.

"Wih tumben banget anak gadis ayah nolak daging ayam! Yaudah jatah Dinda buat ayah aja yaa," kata ayah menggodaku, alih-alih tergoda aku memilih untuk mengangguk lalu menyodorkan mangkuk pada ibu meminta untuk diisi dengan sayur lodeh.

***

"Din, nanti pulang sekolah ada yang mau saya diskusikan bareng kamu. Bisa kan?"

Suara berat Kak Evan terdengar sangat jelas di telingaku walaupun kantin sedang penuh sesak.

"Bisa!" jawabku yang mungkin terlalu semangat. Semoga saja tidak ada yang menyadarinya.

Masalah perasaanku pada Kak Evan hanya aku yang tau. Aku tidak cukup berani untuk menceritakannya pada siapapun termasuk sahabatku sendiri. Entahlah, rasanya keputusanku untuk menganggumi dirinya dalam diam sudah benar. Lagipula hal itu juga bisa membuat peluangku untuk berharap padanya menjadi kecil.

Perjuangan Nasionalisme di PPJITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang