Seorang bocah lelaki bergerak pelan dalam posisi tidurnya. Sulit sekali untuk membuka mata, namun ada kewajiban sehari-hari yang menanti, membuatnya benar-benar terpaksa menahan kantuk yang menumpuk. Ia duduk di ranjangnya, membutuhkan waktu untuk benar-benar menarik separuh jiwanya dari alam mimpi. Ia menguap seraya mengusap matanya lucu.
Kaki kecilnya turun menapaki lantai yang dingin, dengan langkah menyeret ia menuju ke dapur. Untuk anak seumurannya, ia sudah dinilai mandiri. Sudah hampir 2 tahun, ia menjalani kesehariannya di rumah sendirian. Dari dulu, rumahnya tak pernah ramai, namun setidaknya ia tidak sendirian. Ada ketiga pembantunya, satu tukang kebunnya, satu teman bermainnya—anak salah satu pembantu—dan Ibunya.
Ayahnya?
Jangan menanyakan itu, bahkan rasa benci sudah ada pada dirinya saat menginjak umur 4 tahun, dimana ia tahu kenyataan pahit yang benar-benar disaksikannya.
Min Yoongi, bocah berusia 8 tahun itu membuka kulkas besarnya, sedikit kesulitan karena kulkas itu bahkan 3 kali tingginya. Ia menghela nafas, terdengar seperti orang yang sudah mengenal arti 'susah' atau 'lelah dengan sesuatu', faktanya, isi kulkasnya sudah hampir habis, tersisa 2 butir telur dan sekaleng susu. Ia mengambil apapun yang ada tanpa protes, lalu mulai sibuk membuat sarapan.
Yoongi menyalakan kompor gas tanpa kesulitan, ia telah mahir, hanya memasak telur mata sapi sudah hal kecil untuknya. Ia pun mengambil piring, meletakkan telur itu bersama nasinya, kemudian meraih kaleng susu dan menikmatinya sendirian di meja makan.
Jika boleh jujur, Yoongi memang merasa kesepian. Ia adalah orang yang sulit bergaul, di sekolah pun ia hanya mendapatkan 3-5 teman saja. Tapi, keadaan memaksanya untuk menjalani ini. Entah kenapa, semenjak mengetahui ayahnya pergi meninggalkan ibu dan dirinya, ia jadi bersikap dewasa. Ia ingin melindungi ibunya, ia ingin menjadi penghibur ibunya, bukan malah beban yang semakin membuat ibunya sedih. Ia sudah mengerti apa itu rasa sakit, apa itu rasa lelah, dan apa itu kebahagiaan dalam hidupnya. Tapi ia jarang sekali menangis, walaupun begitu, ia pembicara yang aktif, seringkali ia bercerita banyak hal pada ibunya. Ia hanyalah pendiam pada seseorang yang baru dikenalnya.
Greek!
Yoongi menuruni kursi setelah menghabiskan sarapannya. Ia mencucinya di wastafel cuci piring dengan menaiki kursi kecil. Selesainya, ia segera masuk ke kamar mandi, bersiap-siap untuk ke suatu tempat, dimana ia bisa berbagi cerita pada seseorang yang selalu menunggunya.
Setiap hari, Yoongi tak sabar untuk pergi ke sana.
.
.
Ia baru saja turun dari taksi yang mengantarnya hingga ke dalam kawasan rumah sakit Gacheon University Gil Medical Center, namun suara ambulans bersahutan, mendekat dan berhenti di depan pintu utama. Dari ketiga ambulans itu, beberapa paramedic tampak menarik keluar ambulance stretcher dengan hati-hati, kemudian mendorongnya dengan cepat memasuki lorong rumah sakit, keadaan terlihat benar-benar darurat.
Ini bukan pertama kalinya bagi Yoongi melihat seseorang penuh luka, atau seseorang dengan wajah sangat pucat yang terbaring diatas ambulance stretcher itu. Ia pun berlari kecil, seperti ingin melihat lebih dekat, namun tetap memberi jalan untuk paramedic. Yoongi sekilas melihat seorang anak kecil, terbaring diatas sana dengan kepala berdarah dan jaketnya robek disana-sini, matanya memejam damai, membuat ia merasa iba.
"Selamat pagi, Min Yoongi..."
Yoongi agak terlonjak, tapi kemudian ia tersenyum manis pada perawat yang sudah dikenalnya lama. Perawat yang sering menemaninya makan di kantin rumah sakit, juga perawat yang sering memantau perkembangan ibunya. "Selamat pagi, noonim..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Road of Youth
FanfictionMereka telah bahagia, walau dibesarkan dalam tempat yang menampung anak-anak kurang kasih sayang orangtua. Mereka telah bahagia, setelah berhasil melewati segala bentuk rintangan yang mendera, bahkan hampir memecah belah salah satunya. Mereka telah...