⚛N-21⚛
"Nat...tasha?" Dia menyebutkan namaku dengan ragu.
"Natasha?" Lagi. Dia memanggilku sekali lagi.
Aku menatap wajahnya. Menatap ekspresinya. Dia tidak melihat ke arahku, padahal aku sudah membawakannya segelas vanilla latte yang kubawa dari rumah tadi. Aku sengaja membawanya karena entah kenapa instingku mengatakan bahwa pria ini akan siuman hari ini.
Perlu diketahui, pria-tanpa-nama-penyuka-latte ini telah koma selama dua hari setelah kejadian kecelakaan itu terjadi. Ugh, aku bahkan tak bisa membayangkan kenapa dia bisa koma setelah menyelamatkan nyawaku? Ya, aku berhutang nyawa padanya. Pada pria penyuka latte.
"Kau sekarang di rumah sakit, dan hei, aku membawakan sesuatu untukmu. Vanilla latte yang biasa kau minum." Aku menyodorkan segelas latte padanya.
"Vanilla Latte? Yang biasa aku minum?"
Aku mengangguk dan berkata, "Iya, aku tadi membuatnya untukmu."
"Kapan aku pernah meminum vanilla latte? Dan oh, ya. Apa rumah sakit ini listriknya padam? Di mana lampunya? Bisa kau hidupkan lampu?"
Apa dia bilang? Dia menyuruhku menyalakan lampu?
Aku menatap wajah pria itu. Kusadari satu hal, sorot matanya berbeda. Tatapannya tidak seperti saat dia menatapku dan aku juga menatap matanya tempo hari lalu.
Kenapa dia tidak menatap lawan bicaranya, sih? Hei! Aku di sini! Membawakan latte!
Tiba-tiba tangan kanannya menyenggol gelas latte yang kupegang. Dan tumpah. Cairannya membasahi tanganku dan sebagian lainnya tumpah pada kasur dan selimut.
Aku langsung menaruh gelas latte itu.
Sedetik kemudian, firasatku memburuk. Ada sesuatu yang salah. Ya, ini tidak benar...
Kupanggil suster dan dokter sekeras mungkin. Aku histeris tak karuan sambil memencet bel panggilan darurat.
Seketika, dua orang suster datang dan menanyakan apa yang terjadi, namun, ketika aku kembali menatap wajah pria itu, air mataku malah mengalir deras.
Seorang suster memeriksa kondisi pria yang masih terduduk di ranjang itu dan seorang lainnya terus bertanya padaku tentang ada apa sebenarnya dengan laki-laki yang baru sadar dari koma itu, namun aku hanya diam saja sambil terisak tak henti-hentinya.
Ketika aku menatap wajahnya lagi, aku menyadari sesuatu.
Aku tak melihatnya ada di sana.
Pria itu bukan dia.
Aku akhirnya tahu alasan kenapa dia sedari tadi tidak menatap wajahku dan alasan kenapa dia berkata bahwa dia tidak pernah meminum vanilla latte sebelumnya dan alasan kenapa dia menyuruhku untuk menyalakan lampu rumah sakit dan alasan kenapa dia menumpahkan latte-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Glass of Latte
Cerita PendekHanya dengan segelas latte dan seorang pria dan seorang wanita. August 2017 © by Yanti Nura,