1 | Mentari Anugrah

80.6K 5.4K 420
                                    

"Maaa ... sepatu Leffy mana?"

"Kaos kaki aku di sembunyiin Kak Bias ini nih, pasti!"

"Pa, kucing baru Kak Eta kencing di sepatu Alam!"

"Gue udah mau telat, Dek! Jangan ganggu!"

"Ta ... cepetan turun! Bantuin Mama!"

"Kamu lupa lagi nyiapin baju buat aku ya, Nin!"

"Bi ... sarapan aku mana? Buruaaann!"

"Bibi masih jemur cucian ini, Den."

"Mang, siapin mobil!"

"Motor aku juga sekalian dipanasin!"

"Non Eta, ini kucingnya, si Molly makan rumput di halaman belakang."

"Jangan semua ke Mama, dong! Ini Mama juga ada praktek pagi!"

Pagi kembali. Mentari bangun dengan wajah segar, tersenyum sombong di langit timur dan tampak menyilaukan. Cahaya cemerlangnya merambat ke seluruh penjuru Ibukota, termasuk kediaman keluarga Zakhwilly yang selalu ricuh-seperti biasa. Sinar keemasan itu menembus jendela panjang di lantai dua yang kelambunya dibiarkan terbuka. Menyapa wajah cantik sulung Nina yang tertutupi masker putih serta irisan mentimun menutupi kelopaknya yang kembali bengkak. Keriuhan di lantai bawah sama sekali tak mengusik. Ia sudah terlalu terbiasa. Hidup di tengah-tengah keluarga besar dengan tujuh anggota inti memanglah seramai ini.

Papa. Mama. Eta. Adik pertama-Bias. Adik kedua-Sam. Adik ketiga-Leffy. Dan adik keempat-si kecil Aram yang kini sudah masuk TK B.

Yah, keluarga Mentari sebanyak itu. Rafdi, ayahnya memang berniat beternak. Cita-citanya membuat tim kesebelasan dengan lima anak perempuan dan enam anak laki-laki. Sayang impian itu kandas karena Nina, istrinya harus disteril setelah kelahiran si bungsu lantaran kandungannya bermasalah. Dan Mentari bersyukur untuk itu. Hidup dengan empat adik laki-laki sudah membuat pening, ia tak bisa membayangkan kalau harus memiliki sepuluh saudara. Sudah pasti dirinya akan gila.

"Ta ... buruan turun! Bantuin Mama di dapur!"

"Nggak usah teriak-teriak gitu. Eta lagi maskeran di atas. Jangan digangguin. Kasian." Rafdi turun dengan setelan kasual. Kaus lengan panjang yang dilipat hingga siku serta celana jins biru pudar. Siap berangkat menuju restauran cabang di daerah Kuningan untuk pemantauan mingguan. Ia melangkah ringan menuju Nina yang tengah membuatkan Susu Aram, kemudian menjatuhkan kecupan di pipi kiri wanita yang sudah enam belas tahun menjadi istrinya.

"Manjain aja terus anak kesayangan kamu itu, biar sampe tua tetep nggak bisa apa-apa! Mau jadi apa dia?" Nina yang sidab terbiasa diperlakukan manis, tak terpengaruh oleh ciuman Rafdi. Alih-alih tersipu, ia justru tambah mengomel. Mengabaikan anak-anak yang satu per satu mengisi meja makan. "Udah hampir kepala tiga, tapi belum bisa masak. Bahkan beres-beres kamar sendiri harus dikerjain Bibi semua! Dan itu karena kamu! Sekali-kali, coba kamu mikir dong, Pa, gimana nanti kalau dia udah nikah? Mau dikasih makan apa anak sama suaminya?"

"Ya, nasi sama lauk, dong." Rafdi menyeret kursi di ujung meja. Menatap empat anak laki-laki yang berjejer di kiri-kanannya sambil tersenyum hangat. "Pagi, Sayang!"

"Pagi, Pa," jawab mereka serempaj disela-sela sirakan rohani ala Nina yang nyaris mengudara setiap hari.

"Gimana mau ada nasi sama lauk kalo anakmu nggak bisa masak?!" Nina menyerahkan piring kecil berisi tangkup roti yang Rafdi terima dengan senang hati.

"Oh, ayolah, Nin. Suatu hari nanti Eta kita akan jadi istri, bukan pembantu."

"Iya kalau suaminya kaya."

"Apa kamu pikir aku akan melepaskan Eta untuk laki-laki miskin?"

"Kalau ada yang mau!"

"Sekali pun Eta nggak laku, dia masih punya empat adik laki-laki yang mau ngurusin dia."

Cinta Sehangat MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang