6 | Angkasa Majnun

16.8K 2.4K 190
                                    

6
Angkasa Majnun
⛅⛅⛅

Sekian lama ditunggu di depan rumahnya, ternyata dia malah di sana. Duduk berselonjor di pinggir trotoar taman komplek sambil memangku kucing berbulu lebat warna abu-abu. Di sampingnya berdiri sepeda kayuh merah muda yang begitu manis.

Sialnya, Bias baru memberitahu hal tersebut setelah ia menyerahkan uang sebesar nominal yang remaja itu mau. Saat Angkasa bertanya, "Di mana kakak lo? Kenapa belum keluar juga?"

"Lah, dia udah keluar dari tadi pagi kali, Bang. Jalan-jalan ke taman komplek bareng Sisi."

"Kenapa lo baru bilaanggg ...?!" geram Angkasa kesal. Dan jawaban Bias selanjutnya membikin ia sukses gondok berat.

"Kan Abang nggak nanya."

Sialan sekali kan, cowok tanggung itu? Menggeram gemas, Angkasa pun lantas pergi. Berlari secepat dirinya bisa dengan menenteng barbel menuju taman komplek. Dia sudah harus sampai ke sana sebelum Mentari memutuskan untuk pulang. Syukurnya, Eta masih betah. Duduk di bawah pohon beringin tua yang daunnya sangat lebat. Berlindung dari sengatan matahari yang begitu terik, padahal baru pukul sepuluh.

"Hh ... selamat pagi, Calon Istri," sapa Angkasa di antara deru napasnya yang tinggal satu-satu. Niat hati ingin pamer kekuatan di hadapan gadis itu dengan berlari gagah bolak-balik keliling taman sambil mengangkat barbel. Tahunya, begitu sampai di hadapan sang pujaan, Angkasa sudah tak sanggup berdiri. Keringatnya membasahi seluruh tubuh, bagai tersiram hujan lebat sehari semalam yang kerapkali membikin Jakarta terkena banjir.

Mengempas barbelnya sembarangan, ia menjatuhkan diri di samping Eta. Sementara yang disapa menatapnya dengan alis berkerut sebelum menygeser duduk menjauh.

"Kenapa?"

"Bau!" jawab Mentari kelewat jujur, yang praktis membuat Angkasa mengangkat salah satu ketiak untuk dicium.

Dan ... yah. Memang sedikit kecut. Dia lupa belum mandi. Setelah berjamaah subuh, Angkasa tidur lagi. Bangun-bangun langsung bergegas ke apartemen Semesta.

Berdehem setengah malu, Angkasa kembali bertanya sebagai pengalih pembicaraan. "Telepon gue dari kemarin kenapa nggak diangkat?"

"Memangnya situ siapa?" Eta menoleh dengan tatapan mencemooh. Dua tangannya masih asyik mengelus buku Sisi yang bergelung nyaman di pangkuannya. "Ayah bukan. Saudara bukan. Teman juga bukan. Penting gitu ya, ngangkat telepon dari lo?"

"Gue calon suami lo, kan?" Dan Angkasa balik bertanya dengan tingkat kepercayaan dirinya yang terlalu overdosis. Kata-kata Mentari memang nyelekit. Sangat. Untungnya sebelum memutuskan menemui Mentari hari ini, Angkasa sudah membentengi hatinya. Lagi pula, dibanding Eta, omongan Semesta jauh lebih pedas. Tapi, Mentari tahan bertahun-tahun mencintainya walau harus berakhir dengan luka.

"Lo nggak memenuhi persyaratan. Jadi kita putus." Mentari berdecih.

"Maksud lo?"

"Nomor VA tagihan belanjaan terakhir gue emang udah lo bayarin?" sarkasnya. Angkasa kicep. "Udah sih, udah kadaluarsa juga. Batal otomatis dari sistemnya. Padahal itu cuma pembelian kalung buat si Bulbul. Kalung lamanya udah jelek. Murah gitu aja lo nggak sanggup bayarin. Apa lagi yang mahalan dikit. Padahal harganya nggak nyampe seratus ribu loh." Ia mendesah di akhir kalimat. Kemudian mengubah posisi duduk menjadi bersila dengan gerakan hati-hati, takut Sisi yang dipangkunya merasa tak nyaman.

"Ya masa karena itu doang lo marah, sih?"

"Ya justru, itu doang aja lo nggak sanggup, Be. Gimana kalo gue beli yang mahalan, coba?" Kali ini Eta menatapnya. Benar-benar menatapnya. Bahkan posisi tubuhnya menyerong. Barangkali kesal pada Angkasa. Kerutan di antara dua alis tebalnya makin dalam. "Lo tahu, Sisi sekarang lagi hamil. Bentar lagi lahiran. Gue butuh kandang baru buat anak-anaknya biar bisa tidur dengan nyaman. Butuh dot kucing, bak pasir baru, dan kasur baru, tempat makan baru dan dispenser. Belum lagi mainan buat mereka."

Cinta Sehangat MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang