11 | Sepadan: Buah dari Kesalahan

14.2K 2.2K 157
                                    

11
Sepadan: Buah dari Kesalahan
🌤️🌤️🌤️

"Akhirnya, Yaaanggg ... kamu balik juga!" Mentari, cewek yang dijuluki minus sopan santun itu baru saja membuka pintu kamar Semesta tanpa mengetuk pintu. Ia menyampirkan sejumput rambutnya ke belakang telinga. Dengan senyum sejuta watt, cewek itu pun melangkah memasuki kamar Semesta tanpa menutup kembali pintunya. "Udah dua hari kamu absen tanpa keterangan. Staf TU sampe nanya sama aku tahu! Kamu ke mana aja, sih? Dari kemarin aku cariin ke sini juga nggak ada."

Lagi-lagi tanpa permisi, Eta menjatuhkan diri ke ranjang. Mengambil tempat di samping Semesta yang masih tak bergeming. Laki-laki itu duduk dengan kepala tertunduk. Dua siku tangannya menyentuh paha dengan jari-jemari yang saling terjalin.

Memang sejak dua hari lalu Semesta menghilang tanpa kabar. Para pembantunya tak ada yang tahu saat ditanya. Dan Surya, dia bungkam. Baru tadi pagi Eta mendapat kabar dari satpam rumah ini kalau sang tuan muda sudah kembali pulang. Eta yang seharian disibukkan oleh salah satu adiknya yang masuk rumah sakit lantaran tekana tifus, baru bisa datang malam ini.

"Aku udah tanya Bibi sama Kenzo. Mereka juga nggak tahu. Nanya sama si Om, eh dia malah nggak jawab. Melengos doang gitu. Kalian ada masalah, ya? Kalo ada, cerita aja sama aku. Kali aja aku bisa bantu. Sekali pun nggak bisa ngasih solusi, seenggaknya kan bisa sedikit ngurangin beban pikiran kamu."

Semesta masih bisu. Sama sekali tak memberi tanggapan. Seakan tak ada siapa pun di kamar itu. Seolah Mentari hanya mahluk tak kasat mata penunggu pojokan rumah kosong.

"Yang!" Eta bersedekap kesal. Dia menaikkan kedua kakinya. Mengubah posisi menjadi duduk bersila dengan menghadap penuh pada sang lawan bicara. "Kalo ada yang ngajak ngomong itu nyahut, kek. Apa, kek. Kamu lagi sakit gigi apa sariawan, sih?"

"Aku haus. Bisa minta tolong ambilkan air?" Cowok itu akhirnya menyahut, tapi bukan untuk membuka masalah atau menjawab pertanyaan Eta barusan.

Cemberut, Mentari kembali menurunkan kakinya. "Oke, tunggu lima menit!" Kemudian bergegas ke lantai bawah. Mengambilkan air dari dispenser dapur. Lalu secepat kakinya bisa melangkah, ia menaiki anak-anak tangga dengan hati penuh keluhan. Tapi demi simpati cowok itu, semua akan ia lakukan. Agar posisinya sebagai pacar Semesta bisa tahan lama. Minimal sampai mereka lulus SMA.

"Kalo lo tahu gue ternyata anak haram, apa lo bakal terus ngejar gue segigih ini?"

Eta baru sampai di muka pintu. Belum juga kakinya melangkah masuk, tapi sudah disambut pertanyaan sinis Wiratmadja junior yang entah sejak kapan berdiri di depan jendela kamar yang dibiarkan terbuka. Dua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Punggung yang biasa Eta lihat tampak tegap dan kuat itu sedikit membungkuk layu.

Mentari yang terkejut, mematung di ambang pintu. Senyum semanis gulali yang tak pernah lepas dari bibirnya menghilang. Apa yang tadi Semesta katakan?

Dia ... anak haram? Apa ini salah satu upayanya agar ia menjauh? Sayangnya, Eta tak akan menyerah hanya karena trik konyol macam ini. Semesta adalah buah pernikahan Surya dan mendiang istrinya. Dan seluruh dunia mengakui itu.

Jadi, melepas karbon dioksida dari mulut pelan, Eta mengambil satu langkah maju. Berjalan ringan menuju meja nakas dan meletakkan gelas tinggi berisi air putih di sana. Lantas menghampiri sang penerus Wiratmadja, berdiri setengah meter di belakangnya.

"Kamu ngomong apa, sih?"

Alih-alih jawaban Semesta, yang Eta dengar justru suara desau  angin yang bertiup kencang. Musim hujan memang hampir tiba, dan cuaca akhir-akhir ini sedang buruk sekali. Oleh karenanya, Eta yang biasa tampil manis dengan dres selutut tanpa lengan, kini membalut diri dengan sweeter merah jambu—karena paksaan Rafdi—takut masuk angin, mengingat daya tahan tubuhnya yang lemah.

Cinta Sehangat MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang