21 | Ponsel Butut Untuk Eta

14.9K 2.2K 184
                                    

21
Ponsel Butut Untuk Eta
⛅⛅⛅

Angkasa memarkirkan sepeda motor bututnya di depan gerbang tinggi sebuah rumah mewah yang berdiri kokoh di kawasan komplek perumahan elit Jakarta Selatan. Ia mengambil ponselnya di kantong kemeja. Membuka aplikasi pesan, mencocokkan kembali alamat yang Damai kirimkan dengan tempatnya berada kini.

Sama. Berarti benar, Bang Sueb, tetangga sebelah rumahnya, bekerja di sini sebagai sopir. Dan Damai berjanji akan mengirimkan makan siang untuknya hari ini sebagai balasan atas bantuan Bang Sueb yang sudah membantu membetulkan gerobak beberapa hari lalu. Jadi di sinilah Angkasa sekarang. Duduk di atas jok motor bebek bututnya sambil geleng-geleng kepala. Sesekali ia  berdecak kagum. Dalam hati berdoa, semoga kelak ia mampu membangunkan rumah senyaman ini untuk Damai.

Tapi ... Bang Sueb di mana? Angkasa turun dari motor dan celingukan kanan-kiri, mencoba mengintip dari celah besi gerbang yang dengan sombongnya berdiri angkuh. Menghalangi akses masuk menuju istana besar yang berada di balik sana.

Ingat jika dirinya memiliki kontak Bang Sueb, segera Angkasa menekan tombol on pada ponselnya yang masih dalam genggaman.

Belum sempat nada sambung terdengar, suara klakson yang memekak telinga sudah lebih dulu menyerang indra pendengaran Angkasa. Berjengit kaget, ponsel dalam genggamannya terlepas. Jatuh mengikuti arah gravitasi bumi.

Refleks, pemuda tanggung itu menoleh ke belakang dan menemukan sebuah mini cooper merah yang tak henti membunyikan klakson agar ia minggir. Dan kala Angkasa hendak melangkah ke samping untuk memberi jalan, kepala cantik menyembul dari jendela kemudi. Membuat Angkasa menahan napas sejenak. Ia mengenali wajah itu. Wajah familier yang sering seliweran dalam mimpinya selama dua minggu terakhir ini.     

Dia ... si cewek berbi.

"Ngapain lo di sini? Mau maling, ya?"

Masih Mentari yang sama. Yang selalu bicara tanpa tadeng aling-aling dan penyaringan. Segera Angkasa menetralisir degup jantungnya yang kebat-kebit tak keruan, lantas membalas kalimat tanya Eta yang pedas itu. "Bukan urusan lo!"

"Tentu ini jadi urusan gue, karena sekarang lo ada di depan rumah gue!"

Angkasa mengerjap. Sekali lagi ia menolah pada rumah besar yang berada di balik gerbang, masih tertutup pagar besi. Jakun remaja itu naik turun, menelan ludah yang mendadak terasa kelat. Jadi, ini tempat tinggal Mentari? Ada jarum tak kasatmata yang seolah menusuk ulu hati Angkasa. Kesadaran menghantamnya. Dia dan Mentari memang sejauh itu.

Setan bertanduk merah tertawa di dalam kepalanya. Meledek Angkasa yang mendadak gulana. Memang sejak kapan mereka dekat? Bukankah ia hanya bertemu sekali dengan gadis ini? Oh, ayolah Angkasa, buang segela khayalan bodohmu.

"Eh, malah bengong lagi! cepet minggir. Sekalian, minggirin juga motor butut lo!"

Angkasa mendengus, sedikit sakit hati dengan kalimat hinaan yang keluar dari bibir manis Eta. "Tanpa lo suruh pun, gue bakal minggir, kok!" Angkasa berderap, memundurkan motornya yang memang butut. Memberi jalan bagi mobil merah metalik yang Eta kendarai agar bisa lewat.

"Mang Sueb, buka gerbangnya, Mang!" teriak Eta lantang. Kepalanya masih menyembul dari jendela kemudi. Menggunakan ekor mata, ia melihat Angkasa yang tetap berdiri dengan memegangi stang motor. Ada setitik rasa bersalah menyelinap ke balik dada Eta. Tentu saja Eta ingat siapa pemuda ini. Dia adalah seseorang yang tak sengaja memergokinya saat tawuran beberapa hari lalu. Kalau tidak salah ingat, namanya Angkasa.

Suara gerendel besi menyadarkan Eta, ia telah terlalu lama mengamati pemuda yang kini sok sibuk dengan pikirannya sendiri itu. cepat-cepat ia memasukkan kepalanya ke dalam mobil. Gerbang telah terbuka, ia pun menjalankan mobil perlahan.

Cinta Sehangat MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang