Part 12 : Kartu Terakhir Dibuka, Tepat Setelah Renungan Sesaat

21 3 0
                                    


"Tidak-tidak, bukan begitu caranya!!"

"E-eh? ...G-gini?"

"Kau harus memegang pisaunya lebih dekat, berikan ibu jarimu pada bagian tumpulnya dan tahan bagian kulit yang ingin kau potong dengan telunjukmu. Seperti ini..."

Dengan gaya yang rapi Kak Ria memegang pisau di atas sebuah kentang. Aku tahu sebenarnya tanganku juga harus berada pada posisi seperti itu. Tapi sangat sulit menyesuaikan diri dengan benda tajam ini.

"... Kau hanya perlu sedikit arah dan dorongan dari jari telunjukmu, kau tidak perlu menggerakkan pisau, hanya perlu memutar kentangnya. Dan..."

Tangan mulusnya mengupas kulit kentang itu dengan ketipisan mengagumkan. Kau tahu apa kesan pertama yang kulihat dari kulit yang terpotong itu? sampah rautan pensil. Setidaknya rautan pensil bisa mengupas kulit kayu dengan rapi.

Benar-benar tipis dan terus memanjang, aku tidak percaya potongan seperti itu bisa dibuat secara mudahnya dengan tangan.

"Uuh..."

Sekali lagi aku mencoba. Tanganku begitu terasa kaku saat memegang pisau dan kentang pada saat bersamaan. Mencoba mengiris kulit selebar dua sentimeter saja sudah terasa sulit. Paling-paling berakhir terpotong bersama sisa kecil daging buahnya.

Pada akhirnya kentang yang kukupas hanya menyisakan 80% bagian dagingnya.

Aku melihat perbedaan besar dalam kupasan kentang dalam keranjang kami berdua. Milik kak Ria begitu bersih, mengkilap dan nampak bulat. Sedang kentang-kentang milikku, seperti batu karang, tidak simetris, penuh cekungan, dan tonjolan di tiap sisi.

"..."

"..."

Kami berdua terdiam menatap kentang-kentang itu. beberapa dari mereka tampak seperti mimpi buruk.

Sejenak menengok kedua keranjang, kak Ria mulai berkata,"... Riki..."

"... Kenapa?" aku meresponnya.

"... Kakak, merasa kasihan dengan petani yang menanam kentang itu."

"Kumohon hentikan, kau menyakitiku!"

Aku mengalihkan pandangan dan menutup mataku sesaat itu juga. Aku genggam kaus pada bagian dada dengan erat. Entah kenapa barusan serasa telah dihina oleh kakakku sendiri.

Kau tahu Kak Ria, ucapanmu bisa saja membuatku menitikkan air mata sekarang. Tolong hentikan, aku tahu kau sangat ingin berkomentar, tapi tolong jangan lanjutkan kata-katamu! Aku mohon dengan sangat!

"... Yah... Setidaknya kau tidak melukai tanganmu untuk hari ini. Jadi ini peningkatan, kan?" Kak Ria berkacak pinggang dan tersenyum lepas. Dia menatapku saat mengatakan itu.

"... Kurasa kau benar..."

Aku hanya mencoba setuju dengannya. Tapi kenapa aku setuju?

Minggu lalu aku juga disuruh membantu Kak Ria memasak. Setidaknya melakukan hal biasa seperti memotong, mengupas, dan lain-lain. Tapi itu semua berakhir dengan balutan plester di hampir semua jemariku. Apakah aku benar-benar dibenci oleh benda tajam ini. Kukira dibenci kucing kami sudah cukup buruk.

"Kurasa aku akan memasak kentang nanti saja. Masukkan saja kentangnya ke panci air itu."

"Ah... Oke..." kentang dalam keranjang itu kumasukkan ke panci yang dimaksud.

"Sekarang bantu aku memotong jamur kancing. Biar aku memotong dagingnya."

"... Jamur? Memang kau mau memasak apa?"

Side Story : Kami Bertarung Bersama?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang