Edelweiss For Angel [9]

1.9K 50 0
                                    

Annisa sedang menyelesaikan artikel tulisannya yang harus diserahkan besok ke kantornya, ketika sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggamnya malam itu.

"Selamat malam Nona Cantik, sedang apakah kamu gerangan ?" Dari Dave.

Anissa membalas, "Sedang membalas pesanmu sekarang Dave. Hahaha..."

Annisa tertawa-tawa kecil membalas pesan dari Dave dengan iseng.

"Oh ya ? Kalau begitu kamu sekarang pasti sedang membaca pesanku sambil menggaruk-garuk hidungmu yang gatal ya ?" Balas Dave.

Annisa tertegun sejenak. Hey, darimana dia tahu ? Ia berpikir keras sambil menggaruk-garuk hidungnya lagi tanpa ia sadari.

"Tahu darimana ? Kamu sedang mengintipku ya sekarang ?" Tanya Annisa.

Ia kemudian beranjak dari kursinya dan berjalan menuju pintu yang membatasi kamarnya dengan balkon apartemennya. Sesaat sebelum Annisa hendak membuka pintu, ia mengurungkan niatnya.

Tidak mungkin, pikir Annisa. Ia baru menyadari bahwa kamarnya terletak di lantai tiga. Jadi kemungkinannya teramat kecil untuk Dave mengintipnya dan mengetahui apa yang Annisa lakukan saat itu di dalam kamar yang tertutup.

Telepon genggamnya bergetar lagi.

"Jelas aku tahu dong. Kalau kamu sedang tertawa geli kan kamu selalu menggaruk-garuk hidungmu tanpa sengaja..."

Pipi Annisa langsung merah merona. Andaikan Dave bisa melihat wajahku saat ini. Annisa mencoba mengenyahkan wajah Dave yang sedang menari-nari dalam pikirannya.

"Kamu sedang apa sekarang Dave ?" Annisa balik bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.

"Aku sedang membayangkan wajahmu yang merah merona saat ini, Nona Manis..."

Sial ! Ujar Annisa dalam hati. Mengapa Dave selalu bisa menebak semuanya.

Hati Annisa menjadi berdegup kencang tidak karuan. Ada perasaan aneh namun nyaman bergejolak di dadanya. Annisa mulai menikmati sensasi itu.

Sebelum Annisa sempat membalas pesan Dave, telepon genggamnya bergetar kembali.

"Apa bunga kesukaanmu, Nisa ?"

"Kamu tak akan bisa mendapatkannya untukku Dave. Tiga kata untuk bunga kesayanganku. Putih, langka, abadi."

"Hmm, baiklah... Apakah hari Sabtu besok kamu ada waktu ?" Dave kembali bertanya.

"Aku belum ada rencana untuk Sabtu besok. Ada apa memangnya, Dave?"

"Aku hendak mencarikanmu bunga kesukaanmu yang kamu inginkan. Edelweis, bukan ?"

Lagi-lagi Dave menjawab dengan tepat. Annisa mulai berpikir jangan-jangan Dave adalah seorang cenayang.

Pesan singkat dari Dave masuk kembali. "Bagaimana kalau hari Sabtu pagi kita pergi ke Gunung Batur bersama dengan Nico dan Ella ? Sekalian refreshing sejenak dari pekerjaan menulismu."

Annisa menggigiti kukunya untuk mengatasi kegugupan yang mendadak melandanya. Ia merasakan dadanya membuncah penuh dengan kegembiraan. Dengan senang hati Dave.

"Boleh, kebetulan aku juga sudah cukup lama tidak ke Gunung Batur. Siapa tahu aku bisa mendapatkan ide baru untuk tulisan-tulisanku selanjutnya saat aku berada di sana." Sahut Annisa sambil mencari alasan untuk menutupi suasana hatinya yang amat senang pada saat itu.

"Oke sip. Sampai ketemu hari Sabtu pagi, Nisa."

Dave melonjak-lonjak kegirangan. Ia berjoget-joget ala boneka India mencari-cari tiang saking senangnya. Nico yang menyaksikan sahabatnya mendadak beraksi seperti orang gila pun terbahak-bahak sambil berguling-guling di lantai.

When Mafia Loves Angel [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang