Jodoh tidak akan mungkin tertukar. Tetapi tinggal bagaimana caranya kita mutar-mutar untuk mendapatkannya.
Entah pagi ini mengapa Wahid bisa tiba kembali ke kota di mana segala macam kenangan pernah tercipta. Mulai dari yang pahit sampai yang manis begitu membekas di hatinya. Padahal kenangan tersebut bukan dirinya yang membentuk. Tetapi semuanya tak mudah hilang dari pikirannya.
Tepat dua hari yang lalu, sahabat setianya Agam memberitahu bila esok sabtu adalah acara kelulusan sang istri. Walau setelah cukup penuh drama kemahasiswaan, perempuan itu berhasil menyelesaikan kuliahnya kurang lebih 3 tahun setelah musibah dalam hidupnya.
Dan mungkin karena itu pula Wahid di sini. Setelah 3 tahun yang lalu dia sempat kembali ke Jerman untuk membereskan perkara perusahan kakeknya di sana. Akhirnya dia kembali ke tanah di mana seluruh keluarganya berada.
"Assalamu'alaikum, Hid. Lo di mana?" salam si penelepon saat Wahid mengangkatnya.
Wahid melirik ke kiri dan ke kanan. Sudah cukup jauh dia berjalan dari stasiun kota Malang yang dulunya sering dia datangi bersama sahabatnya Agam.
"Gue dekat tukang pecel yang dulu kita pernah makan. Masih ada aja dia mangkal di sini," ungkap Wahid dengan tawa.
"Tunggu di sana, gue jemput." suara sahabatnya itu kembali.
Setelah membalas salam dari Agam, dia memasukkan ponselnya ke saku celana. Beberapa kali orang-orang yang melewatinya nampak tak bisa mengalihkan pandangannya.
Seketika dalam hati Wahid tertawa. Kenapa rasanya sekarang risih mendapatkan perhatian dari orang banyak? Padahal dulu saat-saat ia terlarut dalam masa suram, semua perhatian dari orang-orang menjadi candu untuknya. Apalagi perhatian dari perempuan yang sayangnya sudah menjadi istri dari Kakak sepupunya.
Ah, jika Wahid mengingatnya sakit yang ribuan kali dia coba hapuskan akan muncul kembali. Seakan ia tidak pernah rela melepaskan perempuan itu untuk laki-laki lain.
"Hiiid.." panggil Agam dari atas motor bebek yang menjadi kendaraannya selama ini. "Gue pikir bakalan kesulitan cari lo di sini. Tapi sekali lihat aja gue udah kenal kalau itu lo," tawanya menggoda. Memberikan satu helm ke arah Wahid yang masih menatap jijik helm butut yang Agam berikan.
"Kenapa?" tanya Agam.
"Lo gila kali, Gam. Bisa turun pamor gue pakai helm begituan? Percuma gue punya perusahaan machine di Jerman kalau di Indonesia gue naik motor begini," ungkap Wahid jijik.
"Udah naik aja. Bakalan beda rasanya kalau dibonceng sama gue."
"Beda apanya?"
"Kalau kemewahan bakalan membawa lo melambung di dunia. Tapi kalau kesederhanaan Insha Allah bakalan menuntun lo menuju jannah,"
"Tiga tahun nggak ketemu, lo nggak berubah, Gam. Masih aja gombal. Untung gue cowok. Kalau cewek bisa-bisa salah ngerti sama kata-kata lo," balas Wahid dengan tampang jijik. Tetapi setelahnya dia ikut naik, memakai helm yang Agam berikan untuk menjaga keselamatannya.
"Pegangan. Gue takut anak-anak UB pada nerkam lo,"
"Kurang ajar lo," geram Wahid merasa kesal mendengar tawa Agam kali ini.
Mungkin bisa jadi dia memang kesal kali ini dengan sahabatnya itu. Tetapi tidak ada yang tahu suatu saat nanti dia akan berterima kasih kepada Agam telah membantunya menemukan SCHATZ yang dicarinya selama ini.
***
Continue..
Gimana?
Mau lanjut??
Wahid emang nggak sekonyol Shaka. Tapi kalo udah sama Agam dan Barra dia bisa segila Shaka..Hahahaa.. Kalau masih mau nongkrongin kisah ini, komen sebanyak-banyaknya.. 😚😚
KAMU SEDANG MEMBACA
SCHATZ
SpiritualBEBERAPA PART DI PRIVATE SECARA BERKALA.. FOLLOW ME FIRST.. "Terima kasih teman karena kamu telah menyapaku dalam akad.." Ini kisah kita yang tengah sama-sama berjuang. Bukan untuk saling memiliki, melainkan untuk bisa mencintaNya sepenuh hati. Teta...