Tak perlu selalu saling menyapa jika setiap saat namamu selalu kujaga dalam doa.
Lagi dan lagi Wahid terjebak dalam situasi tidak menyenangkan. Menjemput dua kakak sepupunya di bandara beserta keluarga kecil mereka, cukup berhasil membuat perasaan Wahid kacau balau.
Apalagi salah satu perempuan yang kini ada dalam mobil tersebut adalah sosok yang pernah mengisi hari-harinya dulu. Namun kini semua sudah berubah. Dalam pelukan perempuan itu ada seorang bayi perempuan mungil yang usianya baru menginjak 2 tahun.
"Uhh.. Sayang. Jangan nangis dong,"
"Eh.. Ehh.. Kok anak Daddy nangis. Takut ya lihat om jones lagi nyetir di depan," sahut Shaka dengan mulutnya yang kurang ajar.
"Hus. Dy. Nggak boleh gitu. Wahid nggak jones kok. Cuma belum laku aja," ucap Rara yang tidak ada bedanya.
Di samping Rara, Farah hanya bisa diam. Menimang-nimang putri kecilnya yang masih tertidur pulas dalam pelukannya.
"Jadi lo balik hari ini, Hid? Nggak bareng kita aja besok," tanya Syafiq.
Wahid bukan bermaksud tidak sopan kepada Syafiq karena tidak menjawab pertanyaannya, namun moodnya mendadak hancur hanya karena mendengar ocehan Shaka yang sama sekali tidak berbobot.
"Jangan karena kita ada di sini lo malah balik," sambung Syafiq mencoba mengerti. "Kita hidup untuk masa depan, Hid. Bukan masa lalu. Gue yakin lo masih ada rasa nggak nyaman. Tapi sampai kapan? Sampai gue punya anak lagi?"
"Bukan gitu Bang. Besok gue ada kerjaan di Jakarta,"
"Kerjaan apa? Ngurusin hati lo yang nggak bisa move on?" sahut Shaka cepat. "Capek kali, Hid. Kalau lo terus turutin perasaan lo, gimana mau hidup tenang. Lo nggak kasihan sama Shafa? Dia itu keponakan lo. Dia nggak tahu urusan lo sama emaknya. Masa sampai usia segede ini lo belum pernah gendong dia,"
Dari kaca spion bagian tengah mobil tersebut, Wahid melotot tajam ke arah Shaka yang kebetulan duduk di kursi paling belakang.
Selalu saja Shaka yang berhasil memancing amarah orang-orang disekitarnya.
"Gue yakin si Wahid butuh pawang. Angker juga tatapannya,"
"Udah.. Udah.. Kalian ini nggak pernah berubah," seru Rara menengahi mereka semua. "Inget udah pada punya anak. Nggak usah macem-macem,"
"Butuh variasi biar nggak bosen, Mom." ucap Shaka pada Rara.
"Pikiranmu itu lo. Yang nggak pernah bisa diubah,"
"Untung cuma pikiran. Bukan hatinya. Kayak si Wahid sama..."
"SHAKAAAAA..." Teriak Syafiq dan Wahid bersamaan.
"Ops, nggak lagi-lagi."
***
"Kejutaaaaannnn," teriak semuanya secara bersamaan.
Para sepupu yang tadi Wahid jemput di bandara, langsung berteriak kencang ketika sampai di kontrakan tempat Nada tinggal. Bahkan semuanya seolah lupa dengan barang-barang yang mereka bawa. Hingga Wahid lah yang mengalah menurunkan semuanya dari mobil lalu diangkut ke dalam sana.
"Gue bantu ya, Bang," ucap Kiki yang entah muncul dari mana.
"Lagi badmood ya?"
"Kalau lo begini sebenernya gue nggak mau deket-deket. Tapi karena gue anaknya baik, rajin menabung dan tidak sombong, jadinya gue ikut bantu deh," cengirnya ketika Wahid menatapnya malas.
"Cemburu ya, Bang? Pengen punya anak juga?" pancing Kiki.
"Mulut lo nggak bisa diam ya?"
"Bisa sih diam. Tapi percuma dong Tuhan ciptakan ini kalau nggak berguna,"
KAMU SEDANG MEMBACA
SCHATZ
SpiritualBEBERAPA PART DI PRIVATE SECARA BERKALA.. FOLLOW ME FIRST.. "Terima kasih teman karena kamu telah menyapaku dalam akad.." Ini kisah kita yang tengah sama-sama berjuang. Bukan untuk saling memiliki, melainkan untuk bisa mencintaNya sepenuh hati. Teta...