Sesuatu yang kotor bukan berarti murah. Dan yang murahan bukan berarti palsu
Suasana gelap menyambut Wahid saat ia tiba di rumah kedua orang tuanya. Suara hening seolah sudah menjadi temannya sehari-hari. Bahkan sejak ia tahu bagaimana buruknya kisah kedua orang tuanya dulu, Wahid mencoba memahami keadaan keluarganya ini.
Mungkin inilah yang terkadang membuatnya malas untuk pulang ke rumah. Dan bahkan lebih senang menghabiskan waktunya lebih lama di kantor atau bersama teman serta sepupunya yang lain. Karena jika ia sendiri di rumah, pikiran buruknya langsung berputar dalam otaknya.
Bagaimana bisa Ayahnya setega itu melakukan hal di luar logika kepada Ibunya dulu. Hingga meninggalkan bekas luka yang Wahid yakin tak pernah hilang.
Walau Ibunya selalu berkata semua telah baik-baik saja, tetapi sebagai seorang anak, Wahid merasakan pedih perasaan dari Ibunya itu.
"Bang Wahid sudah pulang?" tegur salah satu pengurus rumah yang kebetulan sudah sejak lama mengabdi dalam keluarga ini.
"Iya, Bi. Saya ke atas dulu," ucapnya sopan.
Disetiap langkah yang Wahid lakukan seolah kenangan terus saja mengikutinya. Hingga ia merasa bisa melihat wujud masa kecilnya dulu tengah mengintip bagaimana pertengkaran kedua orang tuanya sering kali terjadi.
Beberapa kali Wahid menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus kenangan pahit itu. Namun ia tidak mampu. Baik buruknya sebuah kenangan yang pernah terjadi tidak akan mungkin ia hapus dalam ingatannya. Kenangan itu akan terus ada. Baik itu memberikan arti sebuah kebahagiaan atau sebuah kesakitan yang tak ada obatnya.
Baru saja Wahid ingin melepas lelahnya sejenak, ponselnya kembali berbunyi. Ada sebuah pesan dari Barra di sana. Barra yang sudah lama sekali tidak pernah bertemu dengannya memintanya untuk datang ke rumahnya ketika Wahid memiliki waktu.
Sejenak senyum pahit lagi-lagi datang menghampiri. Mendatangi Barra sama saja menimbulkan perasaan iri di hatinya. Melihat tingkah menggemaskan putra dari sahabatnya itu sungguh sangat menyesakkan.
Semuanya kini sudah berubah. Kedua sahabatnya sudah bahagia dengan keluarga kecil mereka. Sedangkan Wahid? Di usianya yang sudah cukup dewasa untuk berumah tangga dia masih ragu. Bahkan menjurus ke arah takut. Takut bila ia akan berubah seperti monster layaknya sang Ayah yang menyakiti Ibunya.
Namun sampai detik ini perasaan cinta yang tertanam di hatinya tak pernah hilang. Dan itu hanya untuk perempuan yang bahkan tidak berhak dia pikirkan sedikitpun.
Di tengah minimnya sinar cahaya ruangan kamar itu, kedua sudut bibir Wahid tersenyum miris. Nyatanya hijrah menjadi lebih baik tidak semudah yang dibayangkan. Karena sampai sekarang ini dia masih kalah. Bukan karena ilmu agamanya rendah. Tidak. Wahid tidak seburuk itu. Melainkan Wahid kalah dengan hatinya sendiri. Hati yang sulit mengerti untuk melepaskan pedih.
Sekuat apapun ia belajar ilmu agama, sesering apapun dia menghapal ayat-ayat Al-Qur'an, ternyata dia masih tetap tak mampu.
Mungkin ilmu ikhlasnya masih begitu rendah. Hingga tak mengerti artinya mencintai dalam kepedihan.
"Gagal bukan berarti berakhir kan?" gumam Wahid pada dirinya sendiri. "Karena kematian nggak menghentikan apapun," sambungnya sebelum memilih mengabaikan perasaan tak menentu dalam hatinya sendiri.
***
"Ya ampun, syaratnya nggak ada yang lebih mudah apa?" ucap Kiki dengan pandangan yang tak lepas dari arah laptopnya.
Sesekali dia mendesah, dengan keningnya berkerut dalam. Lalu setelahnya menggerutu kembali karena semua persyaratan dalam melamar pekerjaan tak ada yang sesuai dengan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCHATZ
SpiritualBEBERAPA PART DI PRIVATE SECARA BERKALA.. FOLLOW ME FIRST.. "Terima kasih teman karena kamu telah menyapaku dalam akad.." Ini kisah kita yang tengah sama-sama berjuang. Bukan untuk saling memiliki, melainkan untuk bisa mencintaNya sepenuh hati. Teta...