2

25.4K 2.2K 145
                                    

Aku menyukai caramu yang membuatku jatuh cinta dengan luka. Lalu seolah lupa bila kau tahu aku telah jatuh cinta.

Wahid cukup kaget melihat kedatangan Kiki pagi-pagi sekali ke hotel tempat dia menginap ketika di Malang.

Tanpa perasaan bersalah, Kiki melangkah masuk. Membawa sebungkus sarapan pagi untuk Wahid lalu tersenyum lebar ke arah laki-laki itu.

"Ini sarapan buat lo. Hari ini semua genting. Jadi lo harus siap-siap. Hari ini kita banyak urusan yang harus dilakuin,"

"Lakuin apa?" Tanya Wahid bingung sambil menggaruk kepalanya.

"Ya Tuhan, Bang Wahid. Besok ulang tahun Nada. Jadi kita..."

"Oke. Stop. Jadi maksud lo bakalan ada pesta gitu untuk dia? Emangnya Agam setuju? Yang gue tahu Agam nggak suka pesta-pesta meriah. Terus lo mau buat pesta untuk Nada tanpa persetujuan Agam? Nggak. Gue nggak ikutan," potong Wahid.

"Ih, Bang Wahid. Bukan gitu, gue.."

"Iya gue ngerti maksud lo, Ki. Lo mau buat kejutan untuk sahabat lo, Nada. Tapi gue rasa Nada nggak butuh kejutan. Dia itu butuh doa. Dari sahabat kayak lo. Apalagi lo tahu dia udah mau ngelahirin. Jadi gue harap lo..."

"Ya elah, Bang. Masa acara makan malem aja nggak boleh sih. Kan kita juga jarang buat kumpul bareng terus makan sama-sama. Itu kan nggak berlebihan. Sekalian ngerayain ulang tahun Nada."

"Ki," panggil Wahid dengan tampang lelah. "Gue kasih tahu. Dalam Islam itu nggak ada yang namanya merayakan perayaan ulang tahun. Karena bertambahnya umur itu seharusnya membuat kita lebih berpikir jauh untuk masa depan kita di akhirat kelak. Bukan hanya di dunia."

Kiki diam tak berani menyahut ucapan Wahid lagi. Dia tahu ilmu agamanya tentang Islam masih begitu jauh. Bahkan larangan dalam perayaan ulang tahun aja Kiki tidak tahu ada pada surat apa dan hadits apa.

Karena yang dia hafal sekarang ini adalah sudah episode ke berapa drama Korea historical yang kini ia tonton. Atau mungkin tanyakan padanya kapan dimulai pertandingan sepak bola kesukaannya.

"Lo diem itu mikir apa bingung?" Tanya Wahid.

Kiki tertawa geli. "Bingung sih, Bang. Emang hadits yang melarangan itu apa namanya? Kasih tau coba,"

Wahid ingin sekali tertawa melihat tampang polos Kiki. Dia berdeham sejenak, lalu mengalihkan perhatiannya dari Kiki dengan membereskan sarung yang kebetulan dia pakai tadi ketika ibadah subuhnya.

"Bang, oi. Gue tanya," seru Kiki.

"Yang gue tahu perkara merayakan ulang tahun itu terlibat dalam dua hal. Dianggap sebagai ibadah dan ada yang hanya sebagai kebiasaan adat saja,"

"Tuh kan ada ibadahnya. Tapi kenapa lo larang gue, Bang?" Protes Kiki tidak terima.

Wahid meliriknya sejenak, lalu duduk disalah satu sofa sambil menghidupkan laptop yang kebetulan dia bawa.

"Idih, ditanya malah buka laptop," protes Kiki sambil bertolak pinggang.

Namun karena rasa penasaran yang begitu tinggi, Kiki bergerak untuk duduk di samping Wahid. Mencari tahu apa yang sedang dilakukan Wahid.

"Ini lo bisa baca sendiri. Web yang dibuat atas pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dijelaskan mengenai pertanyaan yang lo tanya tadi. Gue sempet lupa. Dari pada gue salah jelasin ke lo, makannya gue bukain sekalian webnya. Kalau kita di Jakarta gue kasih lo bukunya. Biar lo bisa baca sendiri," terang Wahid.

Kiki melihat wajah serius Wahid dalam menerangkan ilmu baru kepadanya. Laki-laki ini bukan lah sosok yang sempurna. Ilmu agamanya pun masih meraba-raba agar tidak salah dalam mengartikan segalanya. Tetapi Wahid sama sekali tidak menjudge Kiki yang nyatanya lebih buruk darinya.

SCHATZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang