Filosofi Coklat

156 7 6
                                    

Secangkir coklat panas menjadi minuman favorit kami. Apapun cuacanya.

"Karena dalam secangkir coklat panas ada rasa manis, hangat, tapi ada getir-getirnya dikit, tapi juga ngangenin," kata Dhito ketika kutanya kenapa suka coklat panas.

Manis, sudah kami sesap bersama. Hangat, kami lalui bersama. Getir? Mungkin ini saatnya aku merasakan getirnya secangkir coklat panas.

Secangkir coklat panas yang kini harus kunikmati sendiri, tanpa Dhito di sisiku lagi. Di saat bahagia yang sempurna itu hampir menjadi milik kami.

Rencana Tuhan tak pernah ada yang tahu. Tak pernah terbayang secangkir coklat hangat yang kusiapkan untuknya tak akan pernah menghangatkan kerongkongannya. Bahkan manisnya coklat panas itu tak pernah menyentuh lidahnya. Karena Dhito tak pernah datang malam itu. Malam dimana seharusnya kami melakukan fitting terakhir baju pengantin kami. Karena Tuhan memilih memanggilnya, untuk bidadari cantik yang ada di surga.

Dering telepon dari Tante Emmy, mama Dhito mengguncang duniaku.

"Dhito kecelakaan, ke rumah sakit sekarang ya, Cantik, " hanya itu.

Dalam perjalanan ke Rumah Sakit pun kebingungan masih menggelayuti hatiku. Sesampainya di Rumah Sakit, kulihat Tante Emmy, Om Burhan, dan Mike sudah ada di sana. Tante Emmy menangis dalam pelukan Om Burhan.

Tangis Tante Emmy mengabarkan duka, bahwa Dhito tak akan pernah lagi membuka mata. Bahkan sekedar untuk membuatku tertawa.
Kini, getir itu yang harus kurasa. Karena Tuhan begitu menyayangi Dhito, dan memanggilnya kembali ke sisi-Nya.

Yang bisa kulakukan? Hanya berpasrah dan mengikhlaskannya. Secangkir coklat panas masih tetap menjadi minuman kesukaanku, karena hanya itu yang akan menjadi kenangan indahku bersamanya.

A Cup of ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang