Tubuh Genta langsung merosot duduk, di lantai. Bukan karena mendapat pukulan dari Ari, melainkan nyalinya menciut saja begitu matanya menatap langsung wajah pucat Ari.
Tiba-tiba saja dia teringat akan apa yang sudah dia lakukan pada Ari dulu hingga membuat kondisi sepupunya itu menjadi seperti ini.
Secara tiba-tiba juga rasa bersalah itu kembali hinggap di hatinya. Genta sudah terlalu sering menepis perasaan itu, tapi semakin dia menepisnya, semakin besar juga rasa bersalah itu.
Niatnya untuk membuat perhitungan dengan Ari, hilang seketika. Sekeras apapun dia mencoba membangkitkan amarah itu, tetap saja kalah setelah matanya melihat tatapan sejuk mata Ari.
Genta meluruh, dia tidak sanggup lagi untuk terus bersikap seperti ini. Hatinya semakin bergejolak menyuruhnya meminta maaf dan mengakui semuanya. Genta benar-benar sadar sekarang bahwa hanya Ari satu-satunya orang yang masih peduli padanya.
"Sori," ujar Genta lirih.
Tubuh lemas Ari pun ikut duduk di lantai. Kini posisi mereka saling berhadapan.
"Gue khilaf," ujar Genta lagi.
"Apa gue harus percaya?" tanya Ari. Napasnya terdengar berat.
"Gue takut, Ri." Tangan Genta memeluk lututnya sendiri.
"Takut?" Ari masih menatap Genta awas.
"Sebentar lagi, polisi akan datang ke sini." Suara Genta bergetar. Bahkan tubuhnya pun seperti ikut bergetar. Dia teringat akan Hendra lagi.
"Kenapa?" tanya Ari, "kenapa lo takut polisi akan datang ke sini?"
Genta terkekeh. "Gue tau, Ri. Om Dhika laporin gue ke polisi 'kan?" tanyanya.
Ari menelan ludah. Dia tidak menyangka kalau Genta akan tahu secepat ini, bahkan sebelum polisi benar-benar datang menjemputnya.
"Lo, tau dari siapa, Ta?"
Genta tergelak. "Hendra, dia ditangkap polisi kemarin," ucapnya. "Karena masalah itu."
Ari memperhatikan Genta yang berbicara sambil memejamkan mata. Pelan-pelan, tangan Ari menggapai ponsel yang terletak tak jauh dari posisi duduknya.
"Masalah apa?" tanya Ari. Dengan gerakan cepat, dia memastikan jika ponselnya sudah bisa merekam pembicaraan mereka sekarang, lalu dia masukkan ke dalam saku celananya.
"Apa sekarang, lo jadi bodoh?" Genta balik bertanya. Bibirnya menyeringai. "Tentu saja karena kecelakaan lo, Ri. Hari itu gue nyuruh Hendra untuk merusak motor lo." Genta tertawa terbahak. "Om Dhika melaporkan masalah itu ke polisi, lo gak tau?"
Ari menggeleng. Dia tidak percaya, mendengar pengakuan langsung dari orang yang berusaha mencelakainya membuat darahnya seketika mendidih.
Ari mengepalkan tangannya seraya menghela napas. Diaa tahu kalau dia harus bersabar, atau Genta akan pergi lalu bungkam untuk selamanya.
"Gue gak sengaja, Ri. Niat gue saat itu hanya bercanda." Genta membuka matanya. Melihat Ari masih duduk bersandar pada tempat tidur. Rasa bersalah dan ketakutan mendesaknya untuk berkata jujur. "Tetapi gue gak nyangka akan seserius itu. Itu salah lo, Ri. Lo terlalu ceroboh." Genta terisak. "Gue gak tau sejak kapan, tapi gue benci ngeliat hidup lo yang terlalu beruntung." Pertahanannya runtuh, tapi hatinya terasa lega.
Hati Ari terhenyak mendengar itu, mendengar Genta mengucapkan kalimat itu sambil diiringi isak tangis. Ini pertama kalinya Ari melihat sepupunya itu menangis.
"Orangtua gue bercerai. Papa pergi ninggalin gue. Gue hancur saat itu," ucap Genta, "karena kehadiran lo, gue merasa ada teman, tapi kenapa di saat gue mulai mau berbagi masalah sama lo, lo malah lebih memilih pergi sama teman-teman lo?" Genta menghela napas. "Bokap gue, gak pernah muncul lagi setelah mereka resmi bercerai, sedangkan nyokap gue. Dia gak pernah ngasih apa yang gue butuhkan. Dia hanya berusaha memenuhi kebutuhan materi gue, tapi gak pernah mikirin perasaan gue. Lalu, saat gue udah mulai ngerasa nyaman dan mau berbagi, lo malah pergi, Ri. Ngebiarin gue bergaul sama orang yang jelas-jelas licik, kaya si Darwin."
KAMU SEDANG MEMBACA
What's Wrong? ✔
Teen Fiction(Beberapa part diprivat) Selama ini, Ghifari Syauqi merasa memiliki keluarga. Tetapi tiba-tiba dia merasa bingung ketika ada orang yang mengatakan jika yang disebut keluarga hanyalah orang orang yang memiliki ikatan darah di antara satu sama lain...