26.

12.9K 1K 31
                                    

Flashback

"Jadi, kamu kesal karena Ari menentang kamu?" tanya Mami Dhika dari seberang telepon.

"Iya," jawab Dhika.

"Kamu gak tanya, kenapa Ari mau maafin Genta?"

"Udah, tapi alasannya terlalu klise."

"Itu karena kamu dengerinnya pas lagi emosi. Jangan terlalu keras, Dhik. Mami tahu, kamu ngelakuin ini karena kamu sayang sama Ari. Tapi menurut Mami, kamu juga harus mau dengar pendapat Ari. Bagaimana juga dia sebagai korban dalam kasus ini. Jadi, dia juga berhak mengutarakan pendapatnya."

"Mami gak ngerti." Dhika mengusap kasar wajahnya sendiri. "Mami gak tahu gimana rasanya ngeliat anak sekarat. Saat itu, Ari sudah ada di antara hidup dan mati, Mi," ucap Dhika agak emosi.

"Mami tahu. Mami sangat tahu gimana rasanya. Walaupun kamu sama Ditya gak pernah sakit separah Ari, tapi Mami tahu gimana rasanya. Mami, bahkan Papi dan Ditya juga sempat marah pas kamu cerita tentang masalah ini."

"Terus, aku harus gimana sekarang?" Dhika mulai pasrah. Mungkin saat ini, dia memang membutuhkan pendapat dari orang lain selain dari Ari.

"Kamu tetap harus dengar kata hati kamu."

"Aku tetap ingin Genta dipenjara, tapi Ari pasti marah kalau aku tetap melakukan itu. Mi, jujur aku bingung kenapa Ari mau memaafkan Genta," ucap Dhika pelan. Hatinya mulai ragu sekarang.

Dari seberang telepon terdengar Mami Dhika tertawa. "Jadi, kamu takut Ari marah?" tanya Mami Dhika geli.

Dhika menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bukan gitu juga, Mi. Dia itu kalau marah pasti diam dan aku gak suka itu. Lebih baik aku liat dia teriak-teriak atau apa pun lah. Dari pada diam seolah gak terjadi apa-apa."

"Dhik, Mami senang pas tau kamu mau memperjuangkan kasus yang menimpa anak kamu. Tapi kenapa ya? Pas Mami dengar Ari mau maafin Genta, Mami malah jauh lebih senang."

"Kenapa?" tanya Dhika bingung.

"Mungkin karena Mami bangga memiliki cucu yang punya jiwa pemaaf. Di saat Ari mampu untuk membalas, tapi cucu Mami itu malah memilih memaafkan." Mami Dhika tersenyum. "Ari sudah bisa berpikir jauh. Dia sudah bisa memilih apa yang bisa membuatnya bahagia. Memaafkan memang gak bisa merubah yang sudah terjadi, tapi memaafkan bisa merubah yang akan terjadi."

Dhika diam. Dia mendengarkan semua yang diucapkan ibunya. Mendadak dia jadi merasa kekanakan karena telah memaksakan kehendaknya tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu.

"Waktu Ari kecil, dia sering cerita ke Mami kalau Genta selalu nolongin dia waktu dinakali oleh anak lain. Kamu tahu sendiri kalau Ari itu dari kecil paling gak bisa ngelawan. Beruntung banget dia sekolah dan sekelas sama Genta. Jadi, ada yang bisa ngelindungi dia."

Dhika tersenyum. Dia jadi teringat pada masa itu, saat Ari masih kecil.

Ari mulai masuk sekolah dasar di saat usianya belum genap enam tahun. Dia menjadi anak paling kecil di antara teman-temannya yang lain. Setiap hari setelah pulang dari sekolah, dia bercerita kalau dia dinakali oleh temannya yang lain. Dengan semangat khas anak kecil, Ari menceritakan jika Genta lah yang selalu menolong saat ada teman yang menakalinya.

"Dhik... kamu masih di situ?" tanya Mami Dhika.

"Iya, Mi."

"Dhik, kamu ingat gak? Waktu Ari masih bayi, dia sempat gak mau minum susu formula 'kan?"

Dhika mengangguk seolah-olah ibunya itu sedang berada di hadapannya.

"Untung ada Diandra, kakak ipar kamu," ujar Mami Dhika. "Dia mau loh membagi ASI-nya untuk Ari. Kamu harus berterima kasih juga karena Diandra sempat membantu Rani untuk meyakinkan ibu mertua kamu supaya mau mengizinkan Rani merawat Ari."

Dhika merenung sejenak. Kenapa dia tidak teringat akan hal itu. Entahlah, saat ini otaknya masih dipenuhi akan masalah antara Ari dan Genta.

"Mi, aku tutup dulu ya teleponnya. Aku perlu mikir." Dhika menghela napas. "Aku minta doanya saja. Semoga semua berjalan lancar. Salam juga untuk Papi dan Ditya."

"Iya. Ingat! Kamu jangan berani-berani kasarin Ari hanya karena dia menentang kamu. Kalau sampai Mami dengar kamu jadi ribut sama Ari karena masalah ini, minggu depan Mami suruh Ditya ke Indonesia buat jemput Ari. Assalamuallaikum."

"Waalaikum salam...."

Dhika meringis setelah mendengar ancaman dari ibunya yang selalu memihak Ari dibanding dirinya.

"Udah?"

Dhika menoleh saat mendengar suara Rani dari arah sampingnya. "Udah. Ari tidur?"

"Iya," jawab Rani sambil mendudukkan dirinya di samping Dhika. "Jadi, kamu yang mau berangkat ke kantor polisi?" tanyanya.

Dhika mengangguk. "Emang mau siapa? Ari?" jawab Dhika agak kesal.

Rani mengangkat sebelah tangannya, lalu merangkul pundak suaminya itu. Pundak Dhika terasa tegang. Rani tidak tahu penyebab jelasnya apa, tapi dia yakin kalau wejangan dari maminya di Belanda sana menjadi salah satu penyebabnya.

"Kamu gak harus nurutin kemauannya Ari kok," ucap Rani sambil mengusap-usap rambut Dhika. "Dia juga gak minta kamu bebasin Genta 'kan?"

Semakin bimbang. Dhika menjatuhkan kepalanya di pundak Rani. "Aku benar-benar bingung, Ran."

"Gak usah bingung. Kamu hanya perlu mengikuti apa yang menurut kamu benar."

Hening.

"Aku berangkat sekarang." Dhika berdiri lalu diikuti Rani masuk ke bagian dalam rumah setelah lebih dari satu jam Dhika duduk merenung di teras belakang.

Rani mengekori langkah suaminya itu saat Dhika berjalan masuk ke dalam kamarnya. Rani mematung di ambang pintu tidak ingin mengganggu Dhika yang sekarang sudah duduk di samping Ari yang terlelap.

Tidak ada satu kata pun yang terucap dari mulut Dhika, dia hanya diam sambil menatap lekat wajah Ari. Dhika mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau keputusannya sudah benar. 'Kamu menang lagi sekarang. Harus Papa akui kalau prinsip kamu sulit untuk Papa taklukan. Ari, terima kasih sudah memberi satu pelajaran berharga lagi untuk Papa.' Dhika bergerak mencium kepala Ari, lama sebelum dia akhirnya berdiri lalu melangkah ke luar kamar.

"Aku berangkat ya?"

"Iya," jawab Rani. "Hati-hati. Apa pun keputusan kamu, aku pasti akan selalu dukung." Rani mengecup pipi suaminya sekilas, lalu mengantarnya ke luar rumah.

17.09.05

Tbc

What's Wrong? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang