Kim Seokjin, memutar-mutar sumpitnya. Di hadapannya, sebuah meja panjang sudah terisi oleh makanan kesukaan nya, harum nya memang mampu menerbitkan air liur pun bagi aktor muda itu, namun entah kenapa dia tidak dapat menemukan sedikit rasa kebahagiaan saat berhadapan dengan sang ayah yang sudah pasti hari itu meminta juru masak untuk membuatkan makanan kesukaan putera tunggalnya.
Seokjin merasa rindu akan sosok pria yang kini berada di hadapannya yang tengah melahap makan malam mereka, namun sosok itu tetaplah terlihat dingin. Dingin yang sudah berlangsung sangat lama, bahkan meski Seokjin sengaja pulang ke rumah untuk merayakan hari spesial ayahnya dia masih dapat merasakan dingin nya sikap sang ayah serta dinding tebal tak kasat mata di antara mereka.
"Kau tidak memakan makananmu?" pertanyaan ayahnya membuat Seokjin mengangkat pandangan dari piringnya, "Bukankah itu makanan kesukaanmu?" tanya ayah lagi saat melihat anaknya itu tidak menaruh minat pada makan malamnya. "Atau karena lama tidak pulang kerumah, membuat selera makanmu berubah?" meski hanya sebuah pertanyaan seperti itu, Seokjin dapat merasakan ada nada sindiran dalam pertanyaan sang ayah.
Seokjin menyumpit japchae yang ada di hadapannya. Mengunyahnya pelan dan enggan.
"Kim Seokjin." Sudah lama, Seokjin tidak mendengar ayahnya menyebut namanya secara lengkap. Kalau sudah begitu, pasti ayahnya akan bicara hal yang serius. "Berhentilah dari dunia itu sekarang."
Ucapan sang ayah sukses membuat Seokjin kehilangan selera makan seutuhnya. Seokjin pulang bukan untuk bertengkar dengan ayahnya, bisakah Seokjin pulang ke rumah tanpa perlu mereka bertengkar dengan pertengkaran yang sama? dan jawaban yang akan selalu sama oleh Seokjin. Mereka hanya akan terus mengulangi pertengkaran yang tidak akan ada ujungnya karena ayah dan anak itu sama-sama memiliki sifat keras kepala yang sudah mendarah daging.
"Dunia yang ayah maksud itu adalah impianku , ayah." Seokjin memegang sumpitnya erat. Masih berusaha untuk mengontrol nada suaranya. Setidaknya, untuk hari ini saja, dia tidak ingin bertengkar dengan pria yang sudah membesarkanya seorang diri sejak dia berumur sepuluh tahun. Sungguh, Seokjin ingin berdamai dengan ayahnya, berharap setiap hari agar sang ayah bisa menerima keputusan akan mimpi nya, namun setelah tahun-tahun berlalu agaknya Seokjin masih harus berusaha menunggu agar pikiran ayahnya bisa berubah.
"Mau sampai kapan kau mengejar impianmu itu? Ayah sudah memberimu cukup waktu untuk itu semua, delapan tahun. Sekarang, ayah mau kau berhenti, bantu ayah di perusahaan."
Sejak awal, pria itu tak pernah menyetujui perihal keinginan sang anak untuk menjadi seorang entertainer. Ayahnya ingin Seokjin meneruskan perusahaannya, menjadi seorang presdir. Susah payah dia membangun perusahaan, dengan harapan anak satu-satunya itu akan meneruskan perusahannya.
Membesarkan seorang anak sendirian juga bukanlah hal mudah, semenjak isterinya meninggal karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya pria itu harus merubah diri, bukan hanya menjadi seorang ayah tunggal, tapi juga sosok ibu bagi anaknya. Namun karena kesibukannya di perusahaan, jelas dia tidak bisa membagi waktunya dengan sang anak, dia sering meninggalkan Seokjin sendirian sedari kecil, membuatnya kehilangan waktu bersama. Lalu tanpa sadar, anaknya itu sudah tumbuh dewasa.
Ditambah saat Seokjn bilang dia lolos menjadi trainee disebuah agency, meminta izin untuk menjadi seorang idol. Orang tua mana yang tidak kecewa kalau harapan yang sudah ia pupuk sendiri di hatinya untuk sang anak hilang. Begitupun ayah Seokjin, pria itu ingin anaknya meneruskan perusahaan yang sudah dia bangun dari nol, dia sudah memikirkan bagaimana kalau anaknya satu-satunya itu bisa menjadi penerusnya yang membanggakan di perusahaan. Namun nyatanya, semua angan-angannya serasa hancur karena Seokjin lebih memilih menjadi seorang idol. Menolak keras permintaan Seokjin adalah yang dia lakukan, dan itu adalah kali pertama pria itu menolak keinginan Seokjin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Spotlight ✔ [ SUDAH TERBIT ]
Fanfiction[ Sudah diterbitkan ] Di balik sorotan lampu dan riuh tepuk tangan, mereka menyimpan dukanya sendiri