0. Sakit (author side)

54 4 0
                                    

Angka ini khusus untuk sudut pandang pengarang ya guys. Jadi jangan heran kalo nanti angka di judulnya gak berurutan






POV AUTHOR

Detik jam terus bergerak di dinding ruang ICU, bau obat-obatan menyeruak masuk ke dalam alat indera penciumannya, khas rumah sakit.

Di salah satu ranjang terbaring lemah seorang perempuan dengan rambut hitam sebahu, tak berdaya.
Di sekujur tubuhnya dipasang berbagai macam alat medis untuk menopang hidupnya.

Perban luka menutupi bagian kepala dan tangan kanannya, termasuk luka kecil seperti tergores menghiasi pipi kiri dan dagu serta di bagian tubuh lainnya secara acak.
Benar-benar terlihat memprihatinkan.

Beberapa jam lagi, dia harus segera masuk ruang operasi karena hasil pemeriksaan dokter terdapat pendarahan di bagian paru-paru dan sempat syok hypovolemik.

Tak urung, terdengar langkah kaki yang semakin mendekat, tergesa. Seorang wanita dan pria paruh baya menghampiri.

"Dimana pasien atas nama Karina? Korban kecelakaan?" George, ayah Karina bertanya dengan resah. Lalu seorang perawat yang sedang dinas itu memberi jawabannya.

Kedua orang tua itu langsung berlari menghampiri bed 7b seperti yang sudah dikatakan oleh perawat tadi.
Tercengang, melihat kondisi putrinya yang terluka cukup parah. Sang ibu pun menangis tak sanggup berkata-kata.

"Selamat sore. Keluarga pasien? Saya Dokter Abram, bisa kita bicara sebentar? Di ruangan saya?"

Laki-laki berjas putih bersih itu tiba-tiba masuk. Entah apa yang ada di benaknya saat ini hingga menemui orang tua pasien yang sudah jelas bukan pasiennya.

"Ah, baiklah." George mengikuti dokter muda tersebut, disusul Riana, istrinya.

Di ruangan yang serba putih ini laki-laki tampan yang bertitle dokter tersebut berkuasa. Tidak ada warna lain yang mendominasi selain warna putih. Ah ada satu, pajangan di dinding dan karpet ukuran 4x6 meter yang berwarna cokelat muda.

***

Semua biaya administrasi rumah sakit sedang diurus oleh George. Putrinya itu baru saja keluar dari ruang operasi tiga jam yang lalu.

Entah bagaimana kecelakaan ini bisa terjadi. Yang jelas George masih bisa bersyukur bahwa putri kesayangannya itu masih hidup walau tubuhnya dipenuhi luka dan masih tidak sadarkan diri.
Mengingat kondisi mobil yang tadi pagi dikendarai putrinya untuk pergi ke Bandung, rusak parah terutama bagian depan dan sisi kanan nya.
Pantas jika putrinya terluka demikian parah, bagian pintu menghimpit tubuh mungil putri satu-satunya itu.

Di ruang pasien, sang ibu tidak berhenti menatap sedih anak perempuannya. Siapa yang menyangka jika anak manjanya yang pamit pergi ke Bandung tadi pagi sekali bisa bertemu di rumah sakit dalam kondisi yang dipenuhi luka pada tubuhnya. Bahkan ini belum sampai 24 jam.

Rasa ingin menangis terus tetapi air matanya sudah tidak bisa lagi keluar. Apalagi mengingat pertemuannya beberapa jam yang lalu dengan dokter muda itu. Semua kata-katanya masih terekam jelas di benaknya. Bagaimana pun juga nasi telah menjadi bubur, semuanya telah terjadi.

"Tante..." cicit suara dari sebelah kiri, suara perempuan. Riana kenal betul suara ini.

"Tan..te... maafin aku. Kalo saja aku.. aku.. hiks.. aku minta.. maaf hiks.." suaranya lirih, tercekat karena air mata nya tidak bisa ditahan lagi.

Perempuan itu masih menunduk, takut dan menyesal menggerogoti hati nya. Takut jika wanita paruh baya yang ada di hadapannya ini mungkin saja mengamuk. Menyesal karena dia lah semua ini terjadi.

Sebuah tangan terulur maju, menyentuh pundak seorang gadis yang seumuran dengan putrinya. Mengelusnya dan menupuk ringan bahu anak yang tengah duduk di kursi roda dengan perban yang menutup kepala dan lengan bawah sebelah kiri.

"Sudah, ini kecelakaan. Gak ada seorang pun yang ingin dirinya kecelakaan kan? Tante bisa paham."

Perempuan itu mendongak, memberanikan diri menatap wanita yang dipenuhi luka dan kesedihan dari balik sorot matanya. Lalu menoleh menatap perempuan sebaya nya yang tengah terbaring tidak sadarkan diri, dia cemas.
Seketika itu juga air matanya kembali jatuh, menangisi kecerobohannya dan ketidakberdayaan sahabatnya yang judes itu.

Sorry Kar sorry, gue nyesal. Cepet bangun, gue kangen. Kangen lo marah-marah lagi ke gue....

"Karina pasti akan cepat pulih. Tante minta doain Karina supaya bisa kuat lagi yaa?"

"Iya tante pasti aku doain Karina supaya cepat sembuh."

Ruangan itu dipenuhi dengan drama isak tangis lalu berganti dengan kesunyian. Sibuk dengan pikiran masing- masing.

Di depan pintu ruangan putrinya, berdiri George, ia enggan untuk bergabung. Entah kenapa, rasa takutnya kembali datang. Takut jika ia tidak bisa mengontrol emosi dan terbawa suasana. Apalagi melihat gadis yang duduk di kursi roda, di samping istrinya itu.

George hanya enggan untuk marah, benar saja jika di hatinya masih ada rasa kecewa. Ayah mana yang tidak sakit hati melihat anak kesayangannya seperti ini?

***

Haus. Aku haus banget. Minum.

Seorang gadis yang terbaring di atas bed rumah sakit itu, berusaha menggerakan tangannya. Ia sudah sadar sejak dua menit yang lalu. Ibunya tertidur di sofa tak jauh dari bed nya. Sekarang sudah menunjukan pukul setengah dua pagi.

Seluruh badannya terasa lemas tak bertenaga. Seperti tidak makan selama berhari-hari. Sudah lebih dari dua puluh detik, ia berusaha menggapai minuman gelas plastik di nakas dekat bed nya. Tapi itupun tidak berhasil sedari tadi, ia mulai lelah untuk berusaha.

Tak berselang lama, seorang lelaki berjas putih memasuki kamarnya. Sendiri tanpa seorang perawat menemaninya.

"Mau minum?" Ia tau bahwa pasien yang ada di hadapannya itu haus, karena sewaktu di luar, dokter tersebut tak sengaja melihat pasiennya bersusah payah untuk mengambil minuman gelas itu.

Karin mengangguk.

"Biar saya bantu. Ayo duduk dulu." Dokter itu mengayunkan pedal di ujung bed pasien, sedikit demi sedikit bagian atas bed mulai terangkat hingga membuat pasien duduk bersandar.

Terasa familiar. Batin karin berucap.

"Ini." Dokter tampan itu memberikan gelas plastik beserta isinya kepada Karin. Menunggu hingga Karin selesai minum lalu mengambilnya kembali dan menaruhnya di nakas.

"Ada lagi yang kau butuhkan?"

"Tidak ada. Terima kasih, Dok." Diam-diam dokter muda itu mendiagnosa, pasien dihadapannya masih lemah dan kurang istirahat. Terdengar jelas dari suara perempuan itu ketika ia berbicara tadi.

Dokter yang Karin belum tau namanya itu mengangguk.

"Baik. Istirahatlah kalau begitu." Dokter itu kembali mengayunkan pedal hingga Karin benar-benar dalam posisi berbaring. Lalu pergi dari ruangan pasien.

Aku lupa membaca nama di jas dokternya.
***

OKEHH PART 3 DONE.
See you in the next chapter

[LIKE YOU] MY SWEETHEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang