Terkadang, kita harus belajar melupakan untuk merelakan dan mengikhlaskan***************
Hari ini adalah hari pertamaku duduk di bangku SMA. Dan hari ini pula aku memulai hal yang baru untuk melupakan masa lalu. Masa lalu yang selalu menghantuiku dan membuatku merasa bersalah. Setelah kejadian itu terjadi, hidupku terasa dihantui rasa bersalah. Tetapi berkat bantuan Liana, luka itu sedikit terobati. Tapi tidak memungkinkan untuk sembuh kembali.
"Dek, semuanya udah disiapin kan? nggak ada yang ketinggalan?", ujar bunda kepadaku. Ia memang selalu mengingatkan ku agar tidak ada barang yang tertinggal.
"Enggak kok bun, semua udah aku siapin dari kemarin", jawabku setelah selesai minum susu cokelat yang di buat bunda.
Seperti sekolah biasa pada umumnya, setiap peserta didik baru akan menjalani masa MOS atau Masa Orientasi Siswa.
Begitu juga denganku, penampilanku saat ini adalah rambut yang dikucir 2 menggunakan pita, topi dari bola plastik, dan tas dari kardus. Ini sedikit menjijikan, tapi apalah daya ini semua sudah menjadi ketentuan dari sekolah jadi harus dilaksanakan jika tidak ingin dihukum oleh anak OSIS."Yaudah bun, yah, aku berangkat sekolah dulu ya", aku langsung berpamitan dengan ayah dan bunda, tak lupa aku juga menyalimi keduanya.
"Bang, ayo buruan!, gue udah bangun pagi-pagi gini ntar jadi telat gara gara lo"
Karena hari ini hari pertama masuk sekolah, aku bangun pagi-pagi sekali. Seperti kebanyakan anak lainnya, bisa dibilang aku pemalas karena rajin saat pertama masuk sekolah saja. Mungkin, selanjutnya akan sedikit molor.
"Iya, iya....sabar napa nggak bakal telat kok", ujar abangku, Revan dengan santai sambil makan roti bakarnya.
Dia adalah satu-satunya saudara laki-laki ku. Terkadang dia memang menyepelekan berbagai hal, tapi jika dia sedang serius semua yang dikatakannya tidak akan bisa di bantah. Dia selalu mempunyai cara untuk melindungi dan menyayangiku.
"Bang, nggak boleh gitu! kasian adek kamu kalo telat ntar. Buruan lah makannya!", tegur bunda kepadanya.
"Iya bang, nggak boleh gitu. Dia kan masih anak baru, ntar kalo telat bisa dihukum!", tambah ayah kepadanya. Setelah itu, kembali menyesap kopinya yang di buat bunda tadi.
"Iya, iya. Ini juga mau jalan kok", jawabnya dengan wajah kesal karena bunda dan ayah membelaku berturut-turut seperti tadi.
Dia menatapku seakan berkata 'puas lo!' dan hanya kubalas dengan cengiran saja. Tak lupa dia juga berpamitan dan bersalaman dengan ayah dan bunda.
Saat perjalanan ke garasi rumah, dia masih tetap setia dengan wajah coolnya. Seakan berlagak marah dengan kejadian tadi.
"Bang, lo marah?", tanyaku padanya.
"Nggak, ngapain gue marah. Lagian bunda sama ayah emang bener kan? lo masih anak baru, jadi nggak boleh telat", katanya sambil menstarter ninja hitam kesayangannya.
"Ih, abang sih gitu! udah jelas kelihatan marah juga. Ntar gue bantuin deh, buat deketan sama si Liana!", tawarku sambil menaik turunkan alisku.
Matanya langsung berbinar mendengar kata Liana, tetapi hanya sekejap dan kembali memasang wajah datarnya. Biasa, jaim.
Bang Revan memang diam-diam menyukai sahabatku, Liana. Hanya saja dia tidak mau mengakuinya sampai sekarang, padahal sudah kentara sekali jika ia menyukai liana. Pernah, waktu itu Bang Revan kepergok sedang mengintip dibalik pintu kamarku saat aku dan Liana sedang belajar bersama. Saat itu pun dia tak mau mengakui apa yang di perbuatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reina
Teen FictionReina.... "Tungguin gue dong ren, sini nggak lo!" Aku berlari mengejarnya sambil tertawa. Sore ini hujan mengguyur taman komplek tempat biasanya kami bermain, tetapi tidak menjadi alasan untuk pulang dan berteduh. Bahkan kita berlari bersama di bawa...