"Bertemu dengamu
adalah suatu kesialan dari
yang paling sial dalam hidupku.
Karena pada akhirnya kau
hanyalah sebuah harapan yang
sebenarnya, tak bisa ku capai."--------------
"MAKANYA, jalan pake mata, jangan pake idung!" laki-laki itu mendengus kesal. Ia kemudian menepuk-nepuk celananya yang kotor.
Cewek itu membalas, "Elo yang salah! Elo yang gak punya mata!" dengan nada suara makin meningkat.
Laki-laki itu menatap wajah cewek di hadapannya—dengan wajah serius. "Eh, cewek, lo itu—" laki-laki itu menunjuk perempuan di hadapannya dengan jari telunjuknya.
"Gue kenapa hah?!"
Laki-laki itu terdiam sejenak. "Nyebelin!"
***
"Masa, dia bilang gue nyebelin. Padahal nih ya, dia sendiri yang nyebelin. Ih malesin banget! Pokoknya kalo ketemu lagi awas aja tuh cowok." Ara masih nyerocos soal kejadian kemarin sore dengan kedua temannya.
Cika membenarkan posisi duduknya. "Gini deh, Ra. Lo nyeritain siapa sih?" Cika mengerutkan alisnya.
"Iya nih, Ra. Dari tadi lo nyerocos tapi kita gak tau siapa yang lagi lo omongin." sambar Danda. Ara terdiam. Benar juga sih yang dikatakan dua orang sahabatnya ini, siapa yang dari tadi Ara katakan? Ara berpikir sejenak, mencoba mengingat siapa laki-laki itu. Siapa tahu, Ara pernah bertemu atau pernah mengenal atau mengetahui namanya, tapi sayang pikirannya gak sampai ke situ.
"Ih... gue juga gak tau. Intinya gue sebel sama dia." Ara menggeleng keras. Ia kemudian menyeruput es jeruk di hadapannya.
"Makanya, Ra, gaul. G-A-U-L jangan taunya Deden aja!" lagi-lagi, Cika berkata hal yang sama, g-a-u-l, kata yang paling Ara benci. Ara sebenarnya kan bukan gak gaul, tapi hanya malas saja sok-sokan jadi anak gaul.
"Ih, Cika. Namanya kan Didin bukan Deden." koreksi Danda. Didin, adalah makhluk paling culun di SMA Jaya. Orangnya kurus dan cungkring. Ralat, bukan kurus, tapi kurus banget udah kayak batang pohon, gak ada lemaknya sama sekali. Mana kakinya panjang dan kurus banget udah kayak lidi-lidian—makanan yang dijual ibu kantin yang harganya seribuan—persis banget kayak gitu. Kacamatanya bulet banget udah kayak tahu bulat, mana hidungnya pesek jadi kalau pakai kacamata, kacamatanya melorot gitu ke bawah.
Didin adalah manusia yang setiap hari pasti ke perpustakaan, persis seperti Ara. Gitu-gitu, Ara rajin ke perpustakaan sekolah, sampai jadi manusia gak gaul. Makanya, Cika sama Danda selalu ngeledek Ara gak gaul dan cuma tahu Didin karena tiap hari, pasti yang ketemu sama Ara adalah Didin karena mainnya hanya di perpustakaan sekolah. Pertemuan yang masih berlanjut terus sampai detik ini pun, membuahkan hasil yang sangat tidak disangka-sangka. Didin sebenarnya suka sama Ara, tapi Ara benci Didin. Intinya itu, bertepuk sebelah tangan. Tapi Didin masih aja deket-deket sama Ara, katanya, "gak ada kata terlambat, baru bertepuk sebelah tangan, belum bertepuk sebelah pantat(?)" Itu motto Didin sampai detik ini.
"Maksud gua Didin." Danda ngangguk-ngangguk. "Tuh, bener."
"Ih, apaan sih kalian berdua. Bukan kasih tahu cara bales dendam buat cowok itu ke gue. Malah bahas Didin. Jangan-jangan—" Ara menggantung ucapannya. "kalian yang suka sama Didin." sambungnya.
"Ya, kan? Ya, kan?" Ara menunjuk Cika dan Danda bergantian. Dengan wajah optimis, Ara masih tersenyum lebar dilanjutkan dengan tertawa. Dasar cewek gila.
"Ih gak jelas." Danda bergidik ngeri.
"Cie cemburu cie," Cika berteriak dengan suara melengking miliknya. "Da, dia itu takut kita ngerebut Didin jadi... dia gini deh masti-mastiin gitu takut kita suka sama Didin."
"Tenang, Ra. Didin milik lo seorang, kok. Gua mah udah punya Justin Bieber gak akan ganggu lo."
"Idih si Danda. Iyuh ih, kayak Justin Bieber mau sama lo aja." timpal Cika.
"Enak aja gue cemburu. Kalo lo mau Didin silahkan ambil, gue gak merasa kehilangan kok." ujar Ara dengan tampang sebalnya. Cewek itu kemudian mengeluarkan ponsel pintar miliknya. Lalu memainkannya sembari menunduk.
"Idih, baperan lu, Ra." Cika menyenggol lengan kanan Ara. Gadis itu tetap tak bergerak.
"Cika, Cika. Liat deh, Kak Genta!"
"Mana, mana?" Cika mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang kantin. "Itu, Cik." Danda menunjuk ke arah sekerumunan laki-laki tampan kelas 12 yang baru saja duduk di meja paling ujung kanan.
"Ganteng banget, Ya Allah. Nikmat mana yang kau dustakan." ujar Cika dengan mata hampir tak berkedip.
Begitu juga dengan Danda. Gadis itu masih terus memandangi salah satu laki-laki di kerumunan tersebut sambil berkata, "Ya ampun, Kak Genta ganteng banget. Kriteria banget."
"Katanya Justin Bieber," sambung Cika. "Justin Bieber mah kejauhan. Ini aja yang deket."
"Ih, gila. Eh, Ra. Nih gua kasih tau mana yang namanya Kak Genta. Biar lo gaul dikit lah." ujar Cika sembari menyenggol lengan kanan Ara.
"Ih, apaan sih gak mau ah." jawab Ara masih fokus dengan ponsel pintarnya.
"Bentar, Ra biar gaul."
Ara mematikan ponsel miliknya. Ia kemudian mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. "Mana, mana?"
"Itu." Cika menunjuk kerumunan tersebut. "Jangan bilang yang pake jaket abu-abu tua."
"Nah itu lo tau." jawab Danda.
"Itu."
"Kenapa, Ra?"
"Itu cowok yang kemaren sore."
"What? Jadi dari tadi lo ngutuk Kak Genta?" timpal Cika. Kalau dari tadi Cika tahu ternyata yang lagi dipermasalahkan sama Ara adalah Kak Genta, Cika gak akan mau pasang kuping buat dengerin ceritanya Ara.
"Awas ya tu cowok."
-------------
gue mah gak jelus emang:(((

KAMU SEDANG MEMBACA
FEEL
أدب المراهقين[UPDATE SETIAP RABU DAN MINGGU] ••••••••••••••••••••• Genta, si ketua basket, bertekad untuk balas dendam pada Ara, juniornya. Pasalnya, Ara sudah menabrak dirinya dan membuat kunci motornya jatuh ke dalam selokan. Ara ternyata memiliki pemikiran ya...