1

2.2K 131 14
                                    

Da jia hao (!~¤~/) i am baccccckkk! Apa kalian rindu padaku? Walau telat. Daripada gak ada ya 😅

Well mari kita lanjutkan. Silakan membaca dan kalau suka, berilah saya vote atau pun komentar dalam bentuk apapun. Hanya aja, (+^•) jangan terlalu pedas ya. Nanti saya bisa pingsan di tempat. Wkwkw bencanda doank.

Catatan :

Fu Qin : dibaca Fu Ch'ing. Artinya ayah
Mu Qin : dibaca Mu Ch'ing. Artinya ibu
Xi Shi : di baca Si Se. 西施

Debu-debu memanaskan menerpa wajahku. Ku seka keringat di dahi menggunakan lengan baju abu-abu bertempat di tubuhku. Aku mengangkat ember kayu tempat ku letakkan cucian yang telah diperas sebelumnya dan berjalan kembali menuju desa.

Anak-anak berlarian kejar-mengejar. Tawa mereka membahana menerangi jalanan pagi. Salah seorang anak lelaki dengan kepala plontos tak sengaja menabrakku. Anak lelaki itu terdiam. Matanya yang bulat menatapku dengan bibir dikerucutkan. Aku tertawa menyaksikan wajah anak itu yang langsung berseri-seri, bibirnya yang semerah ceri itu langsung melebar membentuk seulas senyuman imut.

"Kakak.  . . Kakak sangat cantik," ungkap anak itu dan tersenyum polos.

Aku tertawa menyaksikan kepolosannya. Kuturunkan tangan putihku dan mengelus kepala plontos anak tersebut. Ku lambaikan tanganku mengisyaratkan padanya untuk meneruskan permainannya. Anak lelaki itu mengangguk  penuh semangat.  Lantas berbalik menghampiri teman-temannya. Aku berbalik kembali kuteruskan perjalanan ku. Sesekali ku sapa beberapa orang wanita yang melewatiku. Tempat tinggalku ini disebut desa Zu Luo, dikelilingi pepohonan rindang dan aliran sungai bening menyejukkan dimana merupakan sumber air utama desa tempatku berada. Saat diriku hampir mencapai desa, tiba-tiba saja kudengar orang-orang berteriak maupun menangis dalam keterkejutan.

Aku melangkah cepat menuju seorang nenek penjual sayur tak jauh dari tempat ku berada. Wajah keriput kecoklatan nenek tersebut mengalir dua baris air mata. Firasatku langsung tak menyenangkan. Kuletakkan baskom kayu cucianku di bawah lantai dan ku dekati nenek penjual sayur yang selalu memberiku tambahan apabila membeli di kedainya.

"Kenapa kau menangis nenek Ti?" tanyaku seraya mengelus punggungnya.

Nenek Ti terisak, wajahnya yang keriput makin sedih, "Yue sudah kalah.  . . Raja.  . .," nenek Ti mulai terisak lagi. Kutepuk lagi punggungnya secara lembut bermaksud menenangkannya.

"Raja dan Permaisuri dibawa ke negara Wu menjadi budak raja Wu.  . . Hancurlah kehidupan kita nak! Mereka akan datang menjajah dan kita pasti dibuatnya menderita," ucap nenek Ti tak dapat menahan lebih lama lagi tangisannya.

Aku terdiam tak menyahut. Jantungku mencolos satu tempo. Rasa panas dingin menyerangku. Hari ini akhirnya tiba juga. Setelah sekian lama peperangan antara negara kami dan negara Wu dimulai sejak raja kami di masa muda memenangkan peperangan antar Wu dan menyebabkan raja Wu yang saat itu menemui ajalnya. Aku menghela nafas. Meskipun hidup di desa jauh dari ibu kota sekalipun, peperangan ini juga kekalahannya pasti akan berimbas pada desa Zhu Luo yang terpencil. Kuarahkan pandanganku mengelilingi pasar. Tiada keributan yang biasanya terdengar disepanjang jalan. Hari ini para pedagang dan pembeli bermuram durja atas masa depan negara ini. Aku mendongak menatap langit kelabu di atas kepalaku. Langit menangis untuk kami para rakyat negara Yue. Setetes air mengenai wajahku dan air hujan pun mulai berjatuhan membasahi bumi.

Concubine Tears [On-Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang