3

586 50 6
                                    

Ku sampirkan sebuah tusuk giok putih berbentuk awan pada sanggulan rambutku. Ku patuk diri di depan cermin berbingkai emas setinggi diriku. Atasan dan bawahan berwarna kuning dengan kerah terbuka yang memperlihatkan keindahan leherku. Aku berbalik, berjalan menelusuri para dayang pembawa nampan berisi perhiasan. Jariku berhenti pada sebuah kalung gading bertahktakan safir. Aku mengenakannya lantas menghadap cermin.

Sempurna. Ku tersenyum. Sekarang diriku siap menjalani aktivitas sehari-hari.

"furen, tandu anda telah tiba di depan pintu utama istana Guan Wa." ucap seorang kasim tergesa.

Aku mengangguk singkat, "Pergilah."

Segera ku bertolak ke halaman istana demi menyambur kedatangan lelaki itu. Raja Fu Chai. Hatiku berdebar seiring setiap langkah menuruni tangga. Angin musim salju berembus ringan disekitarku. Aku tersenyum.

Pemandangan ini mengingatkanku pada hari itu, ketika aku pertama kali melihatnya. Masih kuingat jelas segala gerak-geriknya seperti terukir begitu mendalam pada dasar hatiku.

***

Ku membungkuk menyibak tirai keluar dari dalam kereta kuda. Perhatianku langsung tertuju pada bangunan megah dihadapanku. Papan hitam bergores tulisan emas gedung kebajikan menggantung tinggi pada luar pintu bangunan. Gedung itu hitam, tinggi menjulam. Mungkin bangunan ini lebih tinggi daripada bangunan dalam istana Yue. Dua pilar di sis pintu tertulis syair.

bersikap bijak jalan menuju kemenangan
Lalai menuju kematian, sikap tercela

Kedua bait terlihat sangat gemilang melebihi bangunan luarnya. Walau pun merupakan musuh negaraku, tapi aku salut pada orang Wu. Mengingatkan diri untuk berjaga sikap, suatu perbuatan yang patut dipuji.

"Wah, besar sekali bangunan ini, Yi Guang, bukankah ini lebih besar dari istana Yue?" suara ceria Jeong Dan membuatku kembali pada kenyataan.

Bukan saatnya untuk memuji orang negara Wu. Aku tak boleh melupakan tujuan awalku ke tempat ini. Orangtuaku dibunuh dengan tak berperasaan oleh bangsawan busuk itu. Ku harus membalasnya. aku luruskan lengan baju satin unguku dan berpaling menghadap Jeong Dan.

"Tidak perlu merendahkan tanah kelahiranmu sendiri Jeong Dan, orang negara Wu juga bukan manusia baik-baik," sahutku tenang.

Jeong Dan terdiam. Perempuan itu tak membicarakan apapun lagi. Bersama Menteri Wen Zong, kami masuk ke dalam Istana Kebajikan digiring 2 orang prajurit berwajah masam.

Kami bertiga harus menaiki tangga menuju gedung itu. Kami melewati 2 ruang utama hingga menuju gedung ketiga yang katanya merupakan ruang Raja Wu mengerjakan tugasnya. Menteri Wen berbisik pada kami bahwa 2 gedung tadi hanya merupakan gedung penghubung. Dimana gedung pertama kadang-kadang digunakan sebagai tempat menjamu tamu luar negeri.

Kami bertiga disuruh berlutut di ruangan. Pada ruangan itu berisi sebuah meja persegi panjang setinggi lutut. Perkamen-perkamen bertumpuk di meja, sebuah cangkir keramik berisi sesuatu masih beruap. Mungkin raja itu baru beberapa saat lalu meninggalkan ruang ini entah kemana.

"Menteri Wen, orang seperti apa Raja Wu ini? Sungguh seseorang yang suka bersenang-senang," ucap Jeong Dan tidak senang.

Aku mendesah. Lagi-lagi gadis itu membuat kesalahan dengan terlalu banyak berbicara. Sebelum berangkat, dayang Xiang berkali-kali mengingatkannya jangan berbicara terlalu banyak atau pun bertanya apapun terhdap siapa saja. Lelaki membenci wanita yang banyak bertanya. *Toh* masalah tanya bertanya biarlah permaisuri yang melakukannya. Aku dan Jeong Dan hanya bertugas membuatnya senang hingga melupakan permasalahan serius lainnya.

Seseorang melangkah masuk ke dalam ruangan. Aku buru-buru menunduk menatap lantai memeragakan etika kerajaan yang diajarkan dayang Xiang. Hatiku berdebar kencang menantikan sosok tersebut. Apakah dia seperti yang telah kubayangkan selama ini? Berperawakan kejam, angkuh dan berwajah jelek dengan gigi menguning.

Concubine Tears [On-Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang