4

417 59 8
                                    

"Berdirilah," ucap Jien guiren tak ramah.

Aku menuruti perintahnya. Tetapi aku bingung, bvenarkah Jien begitu pemaaf? Tiada selir dalam istana Negara Yue yang akan memaafkan selir lainnya begitu saja kecuali sang selir lebih tinggi posisinya daripada orang yang dipanggil atau sekutunya sendiri. Selir paling rendah seperti diriku hanya akan diinjak.

Benar saja dugaanku. Saat ku sudah berdiri tegap dihadapannya, Jien melayangkan tangannya yang bergelang giok putih ke wajahku. Pipi kananku langsung berdenyut-denyut memanas dengan kecepatan cepat. Mungkin jika aku bercermin nanhti, sebuah telapak merah akan membekas diwajahku. Lidahku mengecap secercah rasa besi. Hatiku memanas.Seumur hidupku belum pernah menerima penghinaan semacam ini. Entah perempuan itu mengerahkan seberapa besar tenaganya, rahangku mengalami pendarahan.

Saat ini aku tak memiliki kekuatan apapun dan hanya bisa mengeratkan kepalan tanganku, merapatkan geraham sekuat tenaga menahan amarahku. Walau sejak awal ku telah menyadari akhirnya akan seperti ini, tetap saja pukulan tanpa alasan jelas . . . . rakyat biasa sepertiku tetap tidak bisa menerimanya.

"Apa yang kau lakukan!" segera setelah tamparan itu, suara Jeong Dan terdengar jelas dari kejauhan.

Jeong dalam balutan mantel kuning tanpa sanggulan, rambut hitamnya tergerai sepinggang. Rambut halus itu terombang-ambing saat Jeong bergerak dengan kecepatan penuh menujuku.

"Pagi sekali kau terbangun Jeong meiren," sindir Jien guiren.

Jeong mendengus tak senang, "Maafkan kelancangan chie, jika saya tidak salah mengingat, kakak Jien hanya berstatus guiren, nertugas mengatur perabotan keseharian Yang Mulia, dan Jika chie tidak salah, permaisuri Yang Mulia seorang saja yang memiliki wewenang terhadap hukuman untuk para selir, apa anda sekarang mengambil ahli wewenang itu dan meremehkan kuasa Yang Mulisa Permaisuri?" Jeong melanjutkan, "lagi pula, bukankah Xi Shi telah menjelaskan alasannya? Bukankah anda cukup hanya menegurnya dan melaporkan hal ini ke permaisuri, menunggu keputusannya? Siapa sekarang yang lebih tak tahu aturan?" mata Jeong menatap Jien dengan tajam. Tak mau kalah.

Hatiku mencelus. Gawat! Ini bukan niat awalku. Bertutur demikian hanya semakin memperkeruh situasi, menambah kegersangan kehidupan di dalam harem ini. apalagi aku dan Jeong tak terlindungi oleh raja Wu. Salah-salah dia dan aku akan terbunuh tanpa menyisakan secercah daging pun untuk dikubur secara layak.

Aku buru-buru menarik Jeong menjauh dari perempuan angkuh itu. kupasang senyum terbaik berusaha menenangkan Jien.

"Maafkan Jeong Dan, Jie guiren, ia masih mengantuk dan tak sadar akan apa yang telah dikatakannya." Ucapku langsung berlutut dihadapan Jien.

Bukannya membalas ucapanku, Jien malah berbalik memungguni aku. Urat-urat sarafku menegang, ia pasti akan melakukan sesuatu pada kami berdua. Mungkin hukuman yang lebih berat. Tidak pada diriku saja, kemungkinan ia juga akan melibatkan Jeong yang telah merendahkan keangkuhannya.

"Shieng," tampar kedua perempuan tak tahu diri ini," perempuan itu melipat tangan di depan dada. "Asal kau tahu, permaisuri juga tak akan mempermasalahkan ini jika Yang Mulia tahu kalian telaqh menghinaku." Mata Jien merendah menatap kami berdua yang diberlututkan secara paksa oleh tiga orang dayangnya.

Satu tamparan keras dilayangkan pada pipiku. Dayang Jien yang menamparku merasa puas. Begitupun dengan majikannya. Senyum miring berkembang diwajahnya membentuk kesinisan keji. Urat-uratku menegang, setiap bagian tubuhku memanas.

Kurasakan tusukan dihatiku kian kuat, setiap sel dalam otakku memberontak terus menerus menciptakan bayangan-bayangan diriku memukuli maupun menusuk Jien secara terus menerus. Tidak, bukan pembunuhan yang ku inginkan. Ku benamkan kuku jariku ke telapak tangan, menggunakan ransangan kesakitan itu untuk mengembalikan kewarasanku.

Concubine Tears [On-Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang