7

77 19 0
                                    




Jumat sore, setelah pulang dari kantor Papa, Taufan langsung pergi ke pantai.

"Hei!" Taufan menyapa Baruna yang berdiri memandang laut lepas di dermaga kecil. Baruna menoleh dan tersenyum. Taufan mendekat dan berdiri di sampingnya.

"Skripsimu sudah beres?" Taufan mengangkat kedua bahunya. "Kenapa ke sini, Apa Papa Hitler-mu tidak marah?!"

"Buat mengendorkan saraf-saraf otakku! Soal papa marah, itu sudah menjadi makanan sehari-hariku!" Taufan tersenyum masam. "Apa nanti malam kamu akan ikut melaut?" tanya Taufan mengalihkan pembicaraan..

"Kenapa memangnya?"

"Aku ingin mengajakmu pergi ke Kota! Bukankah kamu sudah lama tidak melihat kota?!"

Baruna tertawa. "Terakhir aku pergi ke kota sebulan yang lalu. Ikut pak Syamsul membeli suku cadang mesin kapalnya."

"Jadi kamu tidak pernah pulang ke rumah? Bertemu mama-mu?" Baruna terdiam. "Kamu tidak merindukannya?"

Baruna menghela nafasnya. "Aku merindukan ayahku! Andai saja aku bisa bertemu lagi dengannya," ucapnya dengan wajah dan nada sedih.

"Maafkan aku, bukan maksudku untuk membuatmu bersedih mengenang ayahmu," sesal Taufan.

"Tidak apa-apa. Tanpa kamu mengatakannya, aku setiap saat selalu mengingat dan mengenangnya." Baruna tersenyum lalu mengatakan kalau dia akan ikut pergi ke Kota. Keduanya kemudian terdiam berdiri dalam kesunyian masing-masing sambil menatap kembalinya sang surya  ke tempat peraduannya. Di ujung dermaga, di pantai, Wulan memperhatikan keduanya.

***

Selepas maghrib, Taufan dan Baruna pergi ke Kota dengan berboncengan sepeda motor.

Setelah sampai di Kota Taufan menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung sate di pinggir jalan untuk makan.

"Rasanya aneh jalan di keramaian kota di malam hari setelah sekian lama hanya melihat laut!" kata Baruna setelah turun dari sepeda motor dan melepas helm-nya. "Seperti anak kampung yang baru melihat kota besar!"

Taufan tertawa, lalu mengajaknya masuk ke warung sate tersebut, mengambil tempat duduk dan langsung memesan  satu kodi sate, satu mangkok gulai kambing, dua piring nasi putih dan dua gelas teh manis panas.

"Tenang saja, aku yang mentraktirmu!" ujar Taufan tersenyum ketika melihat Baruna sedikit mengernyitkan dahinya mendengar apa yang dipesannya.

"Uangmu banyak juga. Apa hasil menangkap ikan kemarin masih ada dan cukup untuk membayar semuanya?"

Taufan tertawa. "Ini uang tabunganku. Hasil pemberian mamaku, kakakku, juga hasil kerjaku. Aku pernah melukis dua orang temanku dan aku mendapatkan bayaran yang lumayan!" ungkapnya.

"Ngomong-ngomong soal melukis, aku ingin melihat hasil lukisanmu yang membuat kamu dan papamu selalu bertengkar!" Taufan tertawa, lalu berjanji akan mengajaknya ke tempat Kosim. "Kira-kira kalau aku dilukis, tampangku seperti apa ya?"

"Aku akan melukismu. Kita lihat saja nanti tampangmu seperti apa." Baruna nampak senang.

Makanan dan minuman pesanan pun akhirnya datang. Tanpa menunggu lama, Taufan dan Baruna langsung menyantapnya. Mereka berdua sangat menikmatinya.

Setelah selesai makan Baruna meminta Taufan untuk mengaantarkannya ke sutu tempat.

"Fan, kamu mau mengantarku ke suatu tempat?"

"Kemana?"

"Nanti akan aku beritahu!"

***

Taufan membelokkan sepeda motornya ke sebuah jalan yang ditunjukkan oleh Baruna dan berhenti di depan sebuah salon kecantikan.

Laut Dan kesunyianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang