22

65 16 0
                                    

Suasana pemakaman cukup khidmat, kerabat dan orang-orang terdekat juga teman-temann mengantar Baruna untuk yang terakhir kalinya. Taufan datang bersama Sekar. Gadis cantik itu sengaja mengajaknya untuk bersama ke acara pemakaman Baruna. Amin, Bapak pemilik warung wedang ronde dan Tamara terlihat di antara pelayat lainnya. Terlihat juga Ramadhan yang terus berada di samping seorang wanita cantik berpakaian dan kerudung hitam. Taufan berusaha mencari sosok Wulan di antara orang-orang yang ada, namun tidak menemukannya.

"Siapa yang kamu cari?" tanya Sekar.

"Seorang teman," jawab Taufan.

Sekar mendengar suara Taufan bergetar, wajahnya nampak sedih dan agak pucat, dia mengulurkan tangan dan memegang tangan Taufan dengan erat. Taufan terkejut dan menoleh,  Sekar itu mengangguk kecil. "Kamu pasti sangat sedih dan terpukul karena kepergiannya." Taufan terdiam, tidak tahu harus berkata apa, lalu dibiarkan tangannya digenggam. Sekar merasakan tidak hanya suara Taufan yang bergetar namun juga tangannya.

***

Upacara pemakaman pun usai. Satu per satu pelayat pergi. Amin dan Tamara mendekati Taufan dan mengatakan walaupun Baruna sudah tidak ada mereka masih menganggapnya sebagai teman.

"Datanglah kapan pun kamu mau," kata Tamara. Taufan yang sudah melepas genggaman tangan Sekar mengangguk. Setelah keduanya pergi dia melihat Ramadhan dan wanita yang disampingnya akan pergi, namun langkahnya terhenti ketika seorang laki-laki mendekatinya. Taufan terkejut ketika melihat wajah laki-laki tersebut. "Mirip denga Baruna! Jangan-jangan..." benak Taufan.

Tidak hanya Taufan yang terkejut, Ramadhan dan perempuan cantik yang disampingnya juga nampak terkejut.

"Sofi! Kenapa kamu tidak mengatakan kalau kita punya anak!" tukas laki-laki tersebut. Wanita cantik itu membuang muka. "Farrah sudah menceritakannya padaku saat bertemu di Bandara pagi tadi. Aku ke rumahmu dan langsung ke sini."

Wanita cantik yang dipanggil Sofi dan tidak lain adalah mamanya Baruna menatap tajam kepada laki-laki tersebut. "Setelah dua puluh tiga tahun,  kamu baru mencariku dan menanyakannya! Semuanya sudah terlambat Lukman!" tukasnya dengan nada tinggi.

"Seharusnya kamu mengatakannya sejak dulu! Mungkin kejadiannya akan berbeda!"

"Terlambat! Tidak akan ada artinya lagi kamu berbicara seperti itu! Anak itu sudah berbaring tenang di sana di samping 'Papanya'!" Wanita itu menekankan kata 'papa'.

"Jadi, anakmu yang meninggal itu adalah.."

"Anak itu adalah anakmu, darah dagingmu! Satu-satunya anak yang aku lahirkan dari rahimku!" Mata Sofi berkaca-kaca.

Laki-laki yang dipanggil dengan Lukman itu terhuyung. "Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya padaku!"

"Untuk apa! Apa waktu itu kamu akan mengubah keputusanmu?" Sofi mencibir. "Semuanya terlambat! Kamu tidak tahu dan tidak akan pernah tahu bagaimana dia Lukman. Seperti halnya dia yang tidak pernah tahu dan mengenal kamu. Baginya papanya adalah Dirga!" Sofi menunjuk makam di samping makam Baruna. Air matanya mengalir dikedua pipinya yang putih mulus. Ramadhan berusaha menenangkannya.

Taufan mendekat. "Maaf, apa Anda mamanya Baruna?" Ramadhan, Sofi dan Lukman menoleh pada Taufan. Ramadhan membenarkannya dan mengenalkan Taufan kepada wanita di sampingnya sebagai teman Baruna.

"Baruna sangat merindukan Anda!" Tukas Taufan tanpa basa-basi. "Dan dia ingin Anda memeluknya!" Sofi menatap Taufan dengan tajam. "Bagaimana pun sikap Anda padanya, dia tetap menganggap Anda sebagai mamanya dan tetap menyayangi Anda!" Mata Sofi kembali berkaca-kaca, Ramadhan yang berada di sampingnya merangkul pundaknya.   Sedangkan Lukman nampak bingung dan tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Taufan. Taufan mengambil sesuatu dari saku celananya. Seuntai kalung dari kulit kerang berwarna putih. "Baruna ingin memberikan kalung ini kepada Anda. Memang tidak seberapa harganya, tapi dia membelinya dari hasil keringat dia sendiri. Dia menyayangi Anda, dan kalau saja dia tidak membeli kalung ini mungkin dia masih bersama kita di sini!" Taufan menyerahkan kalung tersebut kepada Sofi. Wanita itu menerimanya dengan tangan bergetar.

"Apa sebenarnya yang telah terjadi?" tanya Lukman dengan nada penasaran kepada Taufan.

Taufan baru saja akan membuka mulutnya namun Ramadhan sudah mendahuluinya. "Nanti akan aku jelaskan, tapi bukan di sini. Biarkan semuanya tenang dulu."

"Tidak perlu kamu jelaskan Ram! Percuma! Tidak akan mengubah keadaan!" Tukas Sofi.

"Sudahlah Mbak. Sampai kapan Mbak bersikap seperti ini. Baruna sudah menjadi korban kebencian Mbak pada Lukman! Biarkan dia tahu!"

"Korban?!" Lukman mengernyitkan dahinya lalu memandag Sofi dengan tatapan tajam, wanita itu cantik itu membuang mukanya, air matanya mengalir di kedua pipinya. Ramadhan berjanji akan menemuinya di suatu tempat setelah dia mengantarkan pulang kakaknya.

"Kenapa tidak di rumah?"

"Aku tidak mau kamu menginjakkan kaki di rumahku!" sahut Sofi.

"Mbak!" tukas Ramadhan.

"Aku ingin melihat anakku! Setidaknya fotonya!"

Sofi terdiam. Ramadahan mengajaknya pergi. Sebelum pergi, Ramadhan mengatakan kepada Taufan kalau semalam polisi berhasil menangkap preman yang telah menusuk Baruna. Lukman masih berdiri sambil memandang makam Baruna.

Setelah Sofi dan Ramadhan pergi, Taufan mendekati Lukman. "Namanya Baruna, dia laki-laki yang baik dan tampan, mirip dengan Anda!" ujarnya.

"Benarkah?" Taufan mengangguk. Lukman nampak bersedih, dia bersimpuh di samping makam Baruna. Taufan tidak tahu harus berbuat apa, maka dibiarkannya laki-laki itu menangis. Setelah menangis, Lukman pun berdoa. Dan setelah selesai dia pun pergi.

Sekar mendekati Taufan. "Sepertinya Baruna mempunyai masalah yang rumit ya?"

"Begitulah." Taufan melihat Wulan berjalan kearah mereka. Dia menyuruh Sekar untuk pulang terlebih dahulu. Pada awalnya gadis cantik itu menolaknya, namun Taufan tetap memohon, karena dia akan pergi ke suatu tempat, selain itu dia beralasan kalau Bayu dan Papa pasti sangat membutuhkannya. Sekar pun mengalah, dia pergi, dan sempat beradu pandang dengan Wulan ketika mereka berpapasan. Pikirannya membuncah,  sebuah pertanyaan kembali mencuat di benaknya tentang Wulan.

"Maaf, aku datang terlambat! Karena tadi sempat salah jalan. Maaf juga, Ayah dan Kakek tidak bisa ikut." Taufan memegang tangan Wulan. Keduanya kemudian berdoa di depan makam Baruna.

Dari kejauhan, nampak Sekar memperhatikan mereka berdua.

Setelah Wulan berdoa di makam Baruna, Taufan mengatakan kalau dia akan ikut ke pantai. Taufan terbatuk-batuk sambil memegang dadanya.

"Kamu kelihatan tidak sehat Fan. Wajah kamu pucat! Matamu terlihat sangat lelah. Apa tidak sebaiknya kamu pulang dan istirahat dulu?"

Taufan kembali terbatuk lalu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak apa-apa. Nanti aku akan beristirahat di pantai. Di sana aku merasa jauh lebih tenang."

Wulan pun tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka pergi ke pantai dengan sepeda motor Wulan.

***

Laut Dan kesunyianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang